Thursday, December 12, 2019



Petani Mulai Krisis Generasi

(Catatan, Keluh Kesah Anak Petani)

Sebuah rutinitas tahunan, setiap musim hujan tiba, petani mulai berbondong-bondong mengolah sawahnya untuk menanam jagung dan tanaman lainnya.
Hanya saja saat para petani yang bercocok tanam, usianya tidak muda lagi, kisaran 40 an ke atas.
Anehnya, meski petani punya anak jarang sekali terlihat mendampingi mengolah sawahnya. Hanya sang ibu yang setia menemani sambil menaburkan benih jagung ke goresan tanah yang dibajak secara tradisional menggunakan tenaga hewan ternak sapi.
Pengalaman saya dulu sekitar 10 tahun yang lalu bapak saya seringkali mengajak ke sawah meski hanya sekedar membawa sapi atau memikul bajaknya. Entah kalau sekarang belum saya lihat anak muda petani membantu memikul bajak dan membawa sapi ke tengah sawah.
Apalagi di jaman milenial ini, anak petani yang sudah mengenyam dunia pendidikan hingga sarjana lebih tertarik bekerja kantoran atau menjadi pengusaha bahkan juga ada yang memilih menjadi buruh. Sang orang tua pun tidak kuasa memaksa anaknya menjadi petani. Karena kebanyakan doanya sang bapak tani, yang sering saya dengar," Rokaroa engkok cong semalarat, tinah been ter tak enga'a engkok tak malarat ataneh". Dan benar adanya doa bapak tani tersebut terkabul sehingga banyak anak petani yang mulai tidak tertarik bertani.
Padahal petani merupakan penjaga gawang negeri ini, bisa dibayangkan kalau misalkan tidak ada yang mau bertani. Lalu apa yang mau dimakan semua penduduk di negeri ini.
Belum lagi lahan pertanian banyak beralih fungsi menjadi gedung bertingkat. Lihat saja di berbagai daerah perkembangan pembangunan di lahan produktif.
Petani jangan dipandang sepele sebelum menyesal nantinya. Perlu perhatian semua pihak termasuk pemegang kebijakan untuk keberlangsungan produktivitas pertanian. Perlu persiapan SDM yang lebih berkualitas dan moderen di bidang pertanian. Sehingga hasil pertanian juga menjanjikan tidak kalah dengan penghasilan dari penghasilan swasta maupun para pejabat di negeri yang kaya ini. Save petani.

No comments:

Post a Comment