Monday, July 29, 2019

Perlu Mempertajam Branding, Menuju Sumenep Kota Wisata



                   Pantai Salopeng Sumenep

Untuk mewujudkan kesuksesan Visit Sumenep 2019, maka tidak bisa dilepaskan dari branding yang dibangun dengan narasi yang meyakinkan publik secara massif dan berkesimbungan. Bahkan kalau perlu semua visi pembangunan itu muaranya ke branding wisata itu sendiri. Seperti yang dicontohkan daerah lain yang sukses dari sektor pariwisatanya, semisal Kota Batu, dan Pulau Dewata Bali. Dimana bangunan narasinya atau branding dua kota wisata itu sangat kuat. Sehingga ketika orang menyebut Kota Batu dan Bali, maka yang tampak adalah wisatanya.

Hal semacam itu, bukan sebuah kemustahilan bagi Kabupaten Sumenep, yang kaya destinasi wisata, budaya, kesenian, kerajinan dan peninggalan kerajaan sebagai cirikhas ikon Sumenep. Sungguh sangat luar biasa bila betul-betul dikelola oleh orang-orang profesional dan visioner. Mampu mendesain visit sebagai pintu masuk menjadikan kota Sumenep, sebagai Kota rujukan wisata di Madura pada khususnya.

Menyimak Perkembangan Destinasi Unggulan di Sumenep

Namun ketika melihat perkembangan destinasi unggulan di Sumenep. Terkadang sangat pesimis. Seperti melihat perkembangan wisata Pantai Salopeng dan Lombang. Entah, sudah beberapa kali kegiatan event di dua destinasi wisata Pantai Salopeng dan Pantai Lombang ini digelar. Selain kegiatan yang masuk event baik visit 2018 maupun event 2019. Tetapi, sepengetahuan saya, sejak kecil sudah seringkali datang ke dua lokasi ini. Kalau tidak salah setiap momentum lebaran ketupat rutin digelar sejumlah hiburan, mengundang sejumlah pihak termasuk para artis untuk menyedot pengunjung agar datang ke tempat ini, untuk menikmati keindahan pantai dengan balutan pasir putih dan pohon cemaranya yang rindang.

Bahkan saya dengan temen-temen lainnya, utamanya yang jurnalis televisi, seringkali liputan dua tempat wisata ini. Bahkan bisa dibilang sudah menjadi langganan liputan di setiap momentum liburan, baik liburan sekolah, lebaran, dan hari-hari penting nasional. Dari liputan itu seringkaki tayang di siaran berita nasional.

Belum lagi yang sudah diaplud di media sosial, bisa dibilang puluhan bahkan ratusan akun youtube yang telah mengaplud dua destinasi wisata di bawah pengelolaan Dispubparpora ini.

Perkembangan terbaru, dua wisata bahari ini, sama-sama digelar festival batik on the sea. Yang tentunya dari kegiatan itu diharapkan mampu mendongkrak pendapatan asli daerah PAD dari dua destinasi wisata ini. Mungkin pemerintah Kabupaten Sumenep, sudah melakukan sejumlah upaya, Seiring mulai banyak bermunculan wisata baru, yaitu wisata buatan, milik swasta yang mampu menyedot pengunjung. Sehingga dua wisata milik Pemkab ini mulai "Tersaingi".

Melihat kondisi dua tempat wisata, yang sejauh ini belum ada "Perkembangan yang signifikan", muncul beragam pertanyaan. Salah satunya datang dari seorang pengunjung Astuti, saat menikmati suasana pantai salopeng dan menyaksikan fashion show batik on the sea, beberapa hari yang lalu, bahwa pantai Salopeng sebenarnya sangat berpotensi bisa dikembangkan dan juga bisa terkenal mengalahkan wisata bahari daerah lain di Jawa Timur, dengan sarat penunjangnya harus dilengkapi. Misalkan, wahana permainan dan fasilitasnya dibenahi, kemudian dilengkapi dengan tempat penginapan di sekitar lokasi wisata. Sehingga pengunjung yang datang lebih kerasan berlama-lama di tempat ini. "Mestinya di tempat wisata itu, juga ada aksesoris produk lokal cirikhas sumenep yang dipasarkan sebagai oleh-oleh pengunjung, termasuk kuliner yang merupakan asli lokal sumenep," katanya.

Padahal untuk dua wisata ini sudah dianggarkan pememilaharan di APBD 2019 masing-masing Pantai Lombang sekitar Rp 2,2 miliar dan Pantai Salopeng Rp 1 miliar lebih, (radarmadura.jawapos.com., 7/1/2019).

Bahkan seringkali wakil rakyat berteriak agar pengelolaan dua destinasi wisata ini lebih maksimal, sehingga mampu mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bukan sebaliknya, hanya menjadi beban APBD yang dinilai tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap daerah itu sendiri.

Lantas, kemana dampak dari 36 event visit 2018, kemudian ditambah lagi dengan 40 event visit 2019 yang dicanangkan pemerintah dengan anggaran yang tentunya begitu fantastis. Saya terkadang larut dalam kebingungan sendiri, dan bertanya-tanya sendiri, lalu seperti apa sih konsep yang diinginkan pemkab Sumenep, untuk memajukan dalam sektor wisatanya?.

Padahal kalau berkaca pada Kota Batu Malang, yang hanya memiliki tiga kecamatan, tetapi berhasil membrending Kota Batu menjadi kota wisata yang tidak sepi dari pengunjung setiap harinya. Bahkan setiap akhir tahun Kota Batu selalu menjadi pilihan para wisatawan dari berbagai daerah. Wallahu'alam Bissowe.

Penulis, Pecinta Kopi Hitam, Tinggal di Bluto, 30 juli 2019.

Sunday, July 28, 2019

Menengok Kelemahan Pemimpin Generasi Milenial



(Sebuah Analisis Pakar Kepemimpinan, Andrew Senduk)

Istilah "Milenial" belakangan mulai tren diperbincangkan. Apalagi semakin mendekati momentum "Pilkada" mulai marak bermunculan calon-calon pemimpin generasi milenial yang akan diorbitkan. Hal ini dampak pengaruh Pilpres kemarin, istilah milenial sangat populer, mencuat ke permukaan. Bahkan viral di media sosial. kaum "Emmak-emmak' mengelukan sosok Sandiaga Uno menjadi calon pemimpin milenial masa depan yang dinilai mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Walaupun pada akhirnya harus menelan pil pahit, karena keinginan itu harus pupus, tidak sejalan dengan kenyataannya.

Tetapi, bagi sejumlah pakar kepemimpinan memiliki pandangan berbeda tentang potensi kepemimpinan para milenial, salah satunya, Andrew Senduk, Pakar Kepemimpinan serta start-up. Asal Belanda yang pindah ke Indonesia sejak 2013 lalu, ia telah aktif di dunia start-up lokal. Dalam 5 tahun perjalanannya, akhirnya ia memutuskan menulis buku untuk membahas isu seputar milenial.

Ketika ditanya mengenai apa isu yang dihadapi milenial sebagai pemimpin, Andrew menyebut ada dua permasalahan utama, salah satu tantangan dari generasi ini adalah jangka perhatian yang pendek short attention span, (Liputan6.com,  Selasa16/10/2018).

Jangka perhatian pendek yang dimaksud Andrew adalah para milenial lebih menyukai hasil yang instan. Misalkan tidak ada hasil yang jelas dalam 24 jam, maka mereka mulai mengeluh, atau cemas, atau tidak sabaran.

Selanjutnya, Andrew menyinggung kehidupan di era media sosial. Menurut dia, para pemuda terancam kehilangan jati dirinya karena terdistraksi bermacam hal di dunia maya. Bahkan bisa melihat hidup orang lain secara online, lalu dibanding-bandingkan sama teman-teman yang sudah lebih jauh dalam karier atau profesi.

Melihat generasi milenial yang penuh potensi, tetapi tetap butuh panduan, ia pun akan menerbitkan buku berjudul Ignite Millennial Leadership yang terbit di tiga negara, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Namun, dia juga percaya bahwa generasi milenial adalah pemimpin masa depan negara ini. Tetapi butuh bimbingan, atau keterlibatan orang lain yang lebih bijak dan dewasa dalam hal pemikiran.

Ia menyebutkan, bahwa populasi milenial di Indonesia sejauh ini masih dipandang sebagai konsumen, baik itu oleh dunia korporasi atau potensi pemilih bagi para politikus. Mereka pun melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian milenial. Padahal, milenial harusnya tidak sebatas dilihat sebagai konsumen. Harus ada rencana jangka panjang bagi milenial yang merupakan calon pemimpin di masa yang akan datang.

Jadi, bagi hemat penulis, bahwa Pemimpin Milenial bukan sebuah jaminan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Atau malah sebaliknya menjadi penghambat lajunya roda pemerintahan itu sendiri.

Sebab menjadi seorang pemimpin itu tidak segampang membalikkan telapak tangan, harus komplek, termasuk kematangan dalam berfikir dalam menahkodai sebuah pemerintahan yang penuh warna-warni.

Wallahu'alam Bissoweb..

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di Bluto, 28/7/2019.

Friday, July 26, 2019

Ada Apalagi dengan Pansel OPD Sumenep?


Sejumlah mahasiswa saat berdemo di Kantor Pemkab Sumenep, terkait lelang jabatan 9 OPD, beberapa waktu lalu.

SUMENEP: Siang ini, Jumat (26/07/19) penulis sepulang dari solat jumat, merebahkan diri di ruangan tamu Kantor KJS, di Perumnas Regensi 04 Kolor, Sumenep.

Sambil membuka Hp dan menghidupkan data seluler, tiba-tiba 'dangdingdung' suara pesan yang masuk di sejumlah group yang ada di ponsel saya.

Karena penasaran saya buka satu persatu isi pesan yang masuk di group itu. Dan ternyata isinya rata-rata link berita yang di shere oleh teman-teman. Kemudian saya melihat dari link itu, beritanya sama-sama terkait Pansel OPD di lingkungan pemkab Sumenep.

Saya semakin penasaran, dan menuntaskan membaca berita-berita itu. Usai membaca saya bertanya-tanya sendiri, ada apalagi dengan proses lelang jabatan sembilan OPD di Sumenep ini. Sebab sebelumnya belung hilang dari ingatan saya, sejumlah mahasiswa pernah mendatangi Kantor Pemkab Sumenep, berunjuk rasa, karena mencium aroma "main mata" dalam proses lelang jabatan tersebut.

Nah, saat ini muncul lagi persoalan lain, bahwa di tubuh Pansel diduga ada yang menjadi pengurus Parpol, (Baca:Koranmadura,26/07/2019) Entah, seperti apa kebenarannya?

Kalau misalkan benar adanya yang bersangkutan menjadi salah satu pengurus Parpol, maka wajar bila mendapatkan protes sejumlah pihak, karena telah dinilai melanggar ketentuan yang berlaku,(Penamadura,26/07/19)

Lantas Penulis bertanya-tanya dalam hatinya, masak iya pihak-pihak yang terlibat dalam perekrutan Pansel OPD di lingkungan Pemkab Sumenep, tidak tahu aturan itu. Atau memang sudah tahu, tapi pura-pura tidak tahu, karena mungkin beranggapan tidak akan ada yang mempersoalkan di kemudian hari.

Lalu, bila faktanya sudah tersiar ke publik, bagaimana status legalitasnya selaku Panitia Penting dalam proses lelang 9 OPD di Lingkungan Pemkab Sumenep. Apakah yang dimaksud harus dibatalkan dari keanggotaannya, sehingga harus merekrut lagi. Atau dibiarkan saja mengalir tanpa memperdulikan protes publik. Lantas siapakah sih yang akan bertanggung jawab dalam persoalan ini. Maaf tulisan ini belum selesai, terpaksa saya hentikan sampai disini. Biarkan publik yang mencari jawabannya sendiri. Wallahu'alam Bissoweb.

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di Bluto.

Thursday, July 25, 2019

Demokrasi, atau Sekedar Pertarungan Bandar Politik


(Celoteh Si Bohayy di Kantin Bu. Jono)


Siang itu, tanpa sengaja dipertemukan dengan Si Bohayy di Warung pojok Dewan, milik Bu Jono. Tegur sapa pun berlangsung, lalu duduk sebangku sambil diskusi kecil mengalir, tidak terasa sesekali canda tawa spontan terlontar.

Di tengah canda tawa Si Bohayy dengan cirikhas topi hitamnya, diiringi gerakan tubuhnya yang lentur. Perlahan-lahan menyentil persoalan perpolitikan yang dibungkus dengan pesta demokrasi yang berkembang belakangan ini. Penulis sontak tertarik mencoba mengorek dan memancing Si Bohayy untuk mengeluarkan pandangannya tentang perpolitikan di tanah air.

Dari sekian perbincangan terkait politik, penulis berusaha menggiring ke isu lokal, yaitu menuju Sumenep 2020. Spontan SI Bohayy semakin energik untuk mengemukakan pandangannya. Sehingga dari sekian pandangan SI Bohayy terkait Sumenep 2020, penulis sedikit banyak mendapatkan imformasi baru. Namun yang menarik dari perbincangan dia, bahwa "Demokrasi sejatinya pertarungan bandar politik," dimana dalam ranah ini, tiada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang sejati.

Semua bertaruh unjuk kekuatan dan unjuk peranan  dalam politik transaksional yang ujung pangkalnya untuk melanggengkan poros oligarki atau menciptakan oligarki baru. Ibaratnya, elitnya berteman, pionnya disuruh bermusuhan. Seperti  yang terjadi pembelahan dukungan antara kubu 01 dan 02 sehingga muncul istilah "cebong-kampret". Tetapi fakatanya saat ini para elitnya mulai berangkulan, dan mulai duduk bersama. Entah, apa isi dan maknanya dari peristiwa rangkulan itu, karena yang tahu hanyalah mereka.

Sementara "Publik" yang kadung bermusuhan akan menanggung resiko sosial-politik dalam relasi narasi keseharia. Sedangkan "Para bandar" akan berhitung untung-rugi, begitu pun para pemburu rente sudah siap dalam posisi gigi satu dan tancap gas untuk cepat melakukan manufer dengan kacamata kuda dengan menyalip atau mengubah dukungan agar tidak keteteran dalam perebutan kue-kue pembangunan di masa mendatang.

Menang-kalah akan berdampak kepada logistik yang ditariknya, jika kalah harus mengembalikan logistik yang digunakan dalam termin tertentu yang kadang bisa membuat kandidat bangkrut. Tapi jika menang pun akan tersandera, karena juga akan mengembalikan nilai yang serupa berupa imbal jasa dalam bentuk yang lebih halus berupa proyek-proyek pembangunan, atau saya menyebutnya “kue politik”.

Lantas siapa yang diuntungkan dalam pesta demokrasi itu? Tentu saja publik, tapi publik yang berwajah bandar dan oligarki dalam jubah kapitalisme.

Publik, dari mulai buruh, petani, seniman hingga akademisi digiring menuju ladang balot elektoral saat pemilu/pilkada. Namun tetap saja demokrasi kotak suara hanya janji manis oligarkis. Demokrasi politik liberal yang bersekutu dengan ekonomi kapitalis neoliberal telah menciptakan krisis partisipasi publik.

Pengadopsian ideologi neoliberal secara masif dalam politik elektoral yang dianut oleh para kandidat, hanyalah untuk mentransformasikan seluruh bangunan relasi-relasi sosial menjadi pasar bebas yang endingnya menjadikan warganya yang konsumtif. Wallahu'alam Bissoweb.

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di Bluto Sumenep, 25 juli 2019.

Wednesday, July 24, 2019

Tumpukan Garam Menggunung Berwarna Kecoklatan


Tumpukan Garam hasil produksi 2018 di gudgudang PT. Garam Persero Kalianget, Sumenep

SUMENEP:Sejak menjadi jurnalis pada Tahun 2009 lalu, baru kali ini saya melihat tumpukan garam menggunung berwarna kecoklatan di dalam Gudang milik PT. Garam Persero di Desa Karangayar Kecamatan Kalianget, Sumenep, Madura, Rabu 24 Juli 2019 kemarin.

Ternyata, garam yang sudah tidak putih ini merupakan hasil produksi Tahun 2018 lalu ngendon belum terjual di dalam gudang. Penulis panasaran berusaha mencari tahu, kenapa kok belum terjual, lalu sampai kapan garam itu tetap disimpan. Sementara proses produksi garam terus berjalan. Lahan pegaraman milik PT. Garam di dekat gudang melimpah. Lantas bagaimana dengan nasib garam rakyat yang tidak terserap, Mau dijual ke mana?.

Pertanyaan itu, penulis berusaha mencari jawabannya. Akhirnya setelah beberapa lama penulis bersama manteman jurnalis lainnya, yang tergabung dalam Komunitas Jurnalis Sumenep (KJS) berkeliling dari gudang satu ke gudang lainnya, ternyata menemukan tumpukan garam yang rata-rata hasil produksi garam yang tahun lalu. Di samping warnanya sudah tidak putih, garam itu mengeras dan padat serperti batu. Tertulis jumlahnya di tiap satu gudang itu 5 ribu ton lebih, ada sekitar 6 gudang yang berjejer di sebelah timur jalan yang menuju Desa pinggir papas. Belum lagi tumpukan garam yang ada di luar gudang ditutup dengan terpal, juga terlihat menggunung. Berdasarkan catatan PT. Garam jumlah stok garam hingga juli awal 2019 sebanyak 211.307 ton, rinciannya
Garam serapan 120.000 ton dan milik
PT Garam sendiri 91.307 ton.

Kepala Bagian Pembelian Garam PT. Garam Persero, Moh. Hatib mengungkapkan, sejauh ini pihaknya belum melakukan penyerapan garam rakyat di Sumenep karena belum memiliki tempat penyimpanan. Sementara gudang yang ada sudah penuh. "Untuk wilayah madura, kami baru melakukan penyerapan garam rakyat di Sampang, di Sumenep masih mempersiapkan tempatnya," katanya.

Disoal mengenai marak impor garam yang diprotes petani selama ini, pihak PT. Garam berdalih bahwa garam lokal selama ini hanya untuk konsumsi. Sementara untuk garam impor peruntukannya untuk industri. "Jadi garam lokal masih belum memenuhi syarat untuk industri" dalih Sekertaris PT Garam, Hario Junianto.

Selain itu, Sambung dia, pada saat melakukan penyerapan garam rakyat musim lalu, harga garam di kisaran Rp 1.200 hingga 1.300 per kilo. Sementara sekarang harga garam anjlok hingga di bawah Rp 700 ribu per ton.

Sementara untuk menjual garam di bawah harga pembelian atau menjual rugi, menurut dia pihaknya tidak bisa serta merta. Tapi harus menunggu ketetapan dari pemerintah. “Jadi itu bukan hanya kewenangan PT. Garam,” jelasnya.

Oleh karena itu, harapan petani garam di sumenep musim produksi tahun ini, bisa dibilang kecil, mengingat hingga saat ini PT.Garam Persero yang merupakan BUMN belum juga melakukan pembelian garam rakyat. Semoga pemerintah segera mencarikan solusi agar petani garam tidak merasa dikecewakan. Semoga!

Monday, July 22, 2019

Memotret Masa Lalu, Untuk Memahami Hari Ini dan Merangkai Hari Esok Lebih Baik


                      Ya Allah Ya Rob!

Semua orang punya latar belakang yang berbeda, masa lalu yang tidak sama serta segudang pengalaman hidup yang beragam. Ada yang punya masa lalu kelam, ada juga yang cemerlang. Semua itu Sunnatullah. Sebagai wujud kekuasaan yang Maha Kuasa menciptakan mahluknya yang tidak seragam. Sebab dengan seperti itu, maka kehidupan ini semakin indah. Seperti pelangi berwarna-warni di langit indah dipandang mata.

Meski, punya masa lalu yang kelam bukan berarti patah semangat. Melainkan harus bangkit memulai yang baru yang lebih terang. Jadikan masa lalu yang kelam sebagai bahan renungan untuk introspeksi dan evaluasi diri (Baca:Managemen Golbu).

Masa lalu dipotret untuk memahami hari ini yang tengah dijalani. Semua yang tampak di hadapan mata direkam oleh panca indra, kemudian dijadikan sebuah inspirasi untuk membuktikan diri melakukan yang terbaik, minimal untuk kehidupan dirinya sendiri. Sebab apa yang sudah diputuskan dalam kehidupan realita hari ini, masih belum tuntas. Sebab masih ada kehidupan baru lagi yaitu, hari esok yang belum tampak oleh kasat mata. Karena tidak seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi hari esok. Yang ada hanyalah perencanaan yang belum pasti. Makanya manusia perlu sadar diri bahwa dalam hidup ini penuh misteri tidak ada yang abadi (lagu Noah).

Manusia berkewajiban berusaha, dengan kekuatan yang dimiliki baik tenaga dan pikiran yang telah diberikan oleh Allah. Untuk dilestarikan dan dimaksimalkan, selebihnya sepenuhnya hak proitas Allah dengan segala takdirnya. Manusia hanya mampu berdoa, yang diiringi kesabaran, keikhlasan serta tawakkal. Insaallah dengan seperti itu Allah akan memberikan takdir baik untuk hari esok dan seterusnya di masa-masa yang akan datang. Karena Allah adalah dzat yang Maha Mengabulkan doa dari mahluknya. Insaallah Allah akan memberikan jalan keluar. Semoga!

Wallahua'alam Bissoweb..

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di Bluto Sumenep, 23 juli 2019.

Kisah Pilu, Seorang Nenek Tinggal di Gubuk Reyot

                   Nenek Amur menempati Surau                                           terbuat dari bambu

Pamekasan:Sungguh memprihatinkan nasib Nenek Amur (72) warga Dusun Janglateh Barat, Desa Campor, Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan. Dia hidup sebatang kara tinggal di gubuk reyot yang hampir roboh.

Nenek Amur ini di samping sudah renta dia juga tengah menderita penyakit lumpuh. Setiap hari membutuhkan bantuan orang lain karena tidak bisa berdiri sendiri kakinya tidak bisa digerakkan.

Meski dia memiliki tiga anak, satu laki-laki, dua lainnya perempuan. Namun yang laki-laki sudah meninggal dan dua anak perempuannya sudah berkeluarga tidak tinggal serumah lagi.

Saat ini nenek Amur tinggal sebatang kara, terpaksa menempati langgar yang terbuat dari bambu di samping rumahnya yang hampir roboh. Dia terbaring lemah tidak bisa berbuat banyak, hanya bisa pasrah menunggu bantuan orang lain untuk bisa makan. " Kadang bila lapar berteriak, bila seperti itu tetangga sekitar sudah paham bahwa Ibu butuh bantuan," ucap anaknya Sumairah.

Semoga kondisi Nenek Amur yang memprihatinkan ini, menggugah pihak-pihak terkait untuk membantu meringankan beban hidupnya. Semoga kita yang masih sehat dan hidup serba berkecukupan terpanggil untuk selalu membantu yang lemah yang membutuhkan bantuan.

Misteri, Perbedaan Manusia Dulu dan Sekarang



                Buuk singkong kuliner tempo dulu


Puluhan tahun yang lalu. Entah, tahun berapa saya lupa. Tapi kalau tidak salah, Saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Pada waktu itu Kakek minta dinjak punggungnya "Jekenje" di surau tempat kakek beristirahat. Sambil lalu kakek bercerita di masa Kakeknya dia masih hidup.

Banyak hal yang diceritakan. Tetapi, dari cerita yang saya tangkap, bahwa pada masa kakeknya beliau, Kabupaten Sumenep masih dipimpin oleh seorang "Ratoe". Entah Ratoe siapa yang kakek maksud, karena saya tidak sempat bertanya. Saya hanya mendengarkan saja dari apa yang diceritakan beliau.

Cuma dari cerita itu yang saya ingat, bahwa kakeknya beliau pernah disuruh membajak sawahnya Ratoe Sumenep yang lokasinya di sekitar Kota Sumenep, entah di daerah mana. Karena kakek hanya bilang, bahwa kakeknya itu berangkat dari Desa Lebeng Barat, Kecamatan Pasongsong menuju Sumenep. Untuk membajak sawah milik Ratoe Sumenep.

Singkat cerita, Konon kakeknya beliau itu, berangkat dari Desa Lebeng Barat sejak dini hari menuju Sumenep, sambil memikul bajak sawah yang terbuat dari kayu dan membawa sepasang hewan sapi ternak. Entah, sesampainya di Sumenep higga pukul berapa, tetapi yang pasti siang hari.
Karena kata kakek, kalau di masa itu, bila dibutuhkan sang Ratoe, apalagi untuk membajak sawahnya rakyat langsung tunduk dan melaksanakannya. Karena mungkin pada waktu itu seorang Ratoe memang sosok yang begitu terhormat dan sangat disegani. Sehingga semua perintahnya wajib dipatuhi.

Setelah kakek bercerita, saya tidak begitu merasa heran atau penasaran. Hanya terasa cerita biasa seolah tidak begitu berkesan. Namun cerita itu baru terniang di pikiran setelah saya pulang ke Rumah Pasongsongan dengan jarak tempuh sekitar satu jam perjalanan, dengan mengendarai motor berkecepatan sekitar 70 hingga 80 kecepatan.Itu pun terasa lelahnya, padahal hanya duduk di atas motor yang dijalankan oleh mesin moderen.

Lalu saya berfikir membayangkan betapa hebatnya dan kuatnya orang dulu, berjalan kaki sejauh sekitar 50 Km dari Pasongsongan-Sumenep itupun sambil memikul bajak sawah dan membawa sepasang hewan sapi. Sungguh sangat di luar nalar. Apa kira-kira yang menjadi faktor orang dulu bisa sekuat itu. Padahal kalau dari segi makanan, mungkin pada waktu itu paling pavorit singkong rembus dipadu dengan sambal garam. Sangat jauh dengan manusia sekarang yang makanannya serba moderen tetapi malah penyakitan.

Mungkinkah di jaman moderen ini, masih ada orang yang kuat seperti orang dulu memikul bajak sawah sambil membawa sepasang hewan sapi berjalan kaki dari Pasongsongan ke Sumenep?, kayaknya mustahil. Toh walaupun ada dijamin masuk Muri.

Demikian sekumit cerita kakek yang sampai sekarang saya ingat. Semoga temen-teman yang lain punya cerita yang lebih menginspirasi..semoga bermanfaat..

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di Bluto Sumenep, senin 22 juli 2019.



Saturday, July 20, 2019

Bayangkan, Bertamu lalu Disuguhi Rengginang Raksasa!





Ada pemandang unik di di Upacara Adat Tradisi Nyadar, di Desa Kebundadap Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, Sabtu, 20 Juli 2019. Yakni terdapat rengginang raksasa unik sebesar nampan. Sehingga menyedot perhatian warga yang datang ke acara ritual sakral tersebut.
“Entah, gamana ya kalau mislakan saya bertamu sendirian, lalu disuguhi rengginang raksasa, gimana cara makannya,” ujar Abil seraya keheranan menatap rengginang raksasa yang tengah tengkurap di atas meja.
Salah seorang pembuat rengginang raksasa, Made, mengaku membuat raksasa ini membutuhkan waktu selama dua hari. Sedangkan bahan utamanya beras ketan dicampur gula pasir, lalu diaduk hingga menyatu. Setelah itu baru dibentuk menggunakan alat cetak,” kuliner ini khusus dijual disaat momentum perayaan upacara adat Tradisi Nyadar,”terangnya.
Meski rengginang dengan ukuran besar ini, harganya terjangkau hanya sebesar Rp 20 ribu rupiah per satu rengginang, sehingga menarik perhatian warga untuk membelinya.

Friday, July 19, 2019

Aku Benci Kata "Sengketa"




Entah, apakah semua orang punya pemikiran yang sama, merasa muak, benci, males dan jenuh bila mendengar kata-kata "Sengketa"?. Atau tidak merasa benci karena kadung terbiasa, bahkan over keseringan melihat langsung peristiwa "Sengketa".
Sulit bisa menebak seseorang suka, tidak-nya pada kata-kata "Sengketa". Karena bisa saja orang yang merasa benci kata-kata itu, karena belum pernah mengalami sendiri. Coba kalau misalkan kebetulan punya masalah yang menimpa dirinya atau keluarganya. Apakah masih tetap benci atau justru sebaliknya. Seperti menganalogikan kata "Sabar" mudah diucapkan tapi susah diaplikasikan.

Tetapi, sejauh pengamatan penulis, istilah "Sengketa" itu selalu bersinggungan dengan hal-hal yang negatif. Dan rata-rata persoalan sengketa itu dilatari perebutan materi. Atau kalau disederhanakan lagi sebuah hiruk-pikuk perebutan dunia. Makanya tidak salah dalam Agama Islam disebutkan bahwa "Harta itu hiasan dunia". Kerena menjadi hiasan, maka seringkali diperebutkan. Bahkan sesama saudaranya pun seringkali harus bermusuhan lantaran rebutan dunia.
Yang lebih menyakitkan lagi, bila Istilah "Sengketa" itu diperaktekkan di lembaga pendidikan dan tempat-tempat yang disakralkan. Sebab seringkali dijumpai sebuah Sekolah disegel gara-gara ahli waris pemilik lahan sekolah itu tidak diberikan peran. Sehingga mereka membabibuta, tidak perduli anak didik yang menjadi korban keserakahannya itu. Baru setelah diberi ganti rugi merasa tersenyum seolah tanpa merasa berdosa.

Bahkan baru-baru ini, peristiwa sengketa salah satu tempat wisata religi di Sumenep, sangat melukai banyak orang. Karena tempat itu sejauh ini masih disakralkan, terbukti setiap hari banyak orang yang berkunjung yang datang dari luar daerah.

Penulis berkeyakinan, para leluhur yang ada di tempat itu, termasuk orang-orang pilihan yang sampai sekarang terus dikenang dan didoakan setiap saat. Bahkan, meski sudah tiada, tetapi masih bisa memberikan manfaat pada yang masih hidup, termasuk bagi masyarakat sekitar mampu meningkat perekonomiannya dari banyaknya pengunjung yang datang setiap harinya.

Oleh hanya itu, dengan terus bergulirnya persoalan sengketa itu, maka yang akan dirugikan juga yaitu Kabupaten Sumenep itu sendiri. Karena tempat itu merupakan salah satu ikon Sumenep yang sangat dikenal oleh masyarakat luar. Semestinya tempat itu terus dikembangkan, bukan malah dibiarkan membias yang bisa menciderai peninggalan leluhur Kabupaten Sumenep yang sangat dihormati. Penulis berharap Pemerintah setempat harus tegas dalam menjaga dan memelihara aset-aset bersejarah di kabupaten paling ujung timur pulau Madura ini...Semoga!

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di bluto sumenep, 19 juli 2019.

Thursday, July 18, 2019

Usai Ditaburi Garam, Ketua Dewan: Siap Gendong Pengunjuk Rasa



                     Mahasiswa saat berunjuk rasa
          di Kantor DPRD Sumenep, 19 juli 2019

Puluhan mahasiswa yang tergabung Pemuda Petani Garam Rakyat, berunjuk rasa di Kantor DPRD Sumenep, Madura, Jawa Timur, Jumat 19 juli 2019.

Mereka memperotes pemerintah yang telah mengimpor garam, yang dinilai sebagai pemicu harga garam rakyat anjlok. Bahkan saking kesalnya, mahasiswa menabur garam di pintuk masuk Kantor Wakil Rakyat tersebut.
"Impor garam harus disetop, serap garam rakyat," teriak korlap aksi, Edi (19/07/2019).

Menurutnya, gara-gara impor garam, saat ini harga garam rakyat rendah senilai Rp 450 ribu perton, turun drastis dari tahun lalu yang mencapai Rp 1,6 juta perton, atau turun sebesar 75 persen.
"Dewan harus memperjuangkan nasib petani garam, dengan mendesak pemerintah tidak membatasi serapan garam rakyat tahun ini," pintanya.

Setelah lama berorasi, akhirnya Ketua DPRD Sumenep, Herman Dali Kusuma datang menemui mahasiswa dan berjanji akan menyampaikan aspirasinya melalui DPR pusat," Ayo bahkan kalau perlu saya siap menggendong pengunjuk rasa ini," ucapnya.
Setelah mendengar pernyataan Ketua DPRD Sumenep, pengunjuk rasa membubarkan diri dengan tertib. Tidak ada kericuhan dalam aksi ini, sebab mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian setempat.

Wednesday, July 17, 2019

Pembagian Kekuasaan, Dilema antara Profesionalitas dan Tekanan Internal




Tradisi pasca hajatan demokrasi, entah itu Pilpres, Pilgub dan pil-pil lainnya, sudah pasti yang mencuat ke permukaan terkait persoalan pembagian kekuasaan. Siapa saja yang akan ditempatkan di pos-pos strategis untuk membantu menjalankan roda kepemimpinannya.

Terlepas apakah orang yang ditempatkan itu nantinya sesuai tidaknya dengan kemampuan dan kapasitas yang dimiliki. Karena diakui, seorang pemimpin yang telah berhasil merebut kekuasaan bukan berangkat dari tangan kosong, apalagi menggunakan "Binsalabin" sesuatu yang mustahil. Sehingga wajar dan menjadi lumrah siapa yang mendukungnya akan besar kemungkinan menduduki jabatan empuk tersebut. Kalau dalam istilah Maduranya,"Tengka, bede pakon ye paste bede pakan".

Artinya, secara kasat mata, orang yang akan ditempatkan di posisi strategis itu sudah terbaca. Salah satunya dari unsur partai politik yang mengusungnya. Tradisi semacam itu bukan hal yang baru di negeri ini. Jadi, dengan begitu penempatan jabatan strategis itu, bukan murni semata-mata karena dorongan profesionalitas melainkan bisa dibilang kompensasi atau yang lebih ekstream lagi, karena faktor tekanan internal.

Cuma yang aneh, ketika memang dari awal tidak mendukung, atau bisa dibilang memang mustahil untuk mendukung, ibarat langit dan bumi. Tiba-tiba sok jadi pahlawan kesiangan meminta jatah dengan mengklaim akan memperbaiki keadaan ke arah yang lebih baik. Sikap semacam itu sangat tidak cocok dengan budaya lokal di negeri ini yang kental dengan istilah,"Etika dan moralitas dalam berpolitik".

Mestinya pihak yang jelas-jelas tidak mendukung bersikap lebih dewasa dan jantan. Dengan tetap konsisten berjuang di jalurnya. Yaitu menjadi penyeimbang, pengontrol, penginspirasi serta sebagai kritik yang konstruktif guna tercapainya kesuksesan pembangunan yang dicita-citakan bersama.

Catatan penulis, siapapun pemimpin yang terpilih, diharapkan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, kelompok atau golongan tertentu. Dengan menempatkan orang-orang yang memang punya kemampuan dibidangnya. Tanpa harus mengenyampingkan pihak-pihak lain yang telah mendungnya. Karena pemimpin sejatinya menyangkut kepercayaan, harapan, keyakinan rakyat untuk membawa bangsa ini kearah yang lebih baik lagi. Wallahu'alam Bissoweb.

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di Bluto Sumenep.

Tuesday, July 16, 2019

Bersyukur, Uang Negara Hampir Rp 700 Juta Terselamatkan

                     Penyerahan uang oleh pihak                             kejari ke pihak Disprindag Sumenep

SUMENEP: Mata terbelalak seketika, saat Melihat tumpukan uang pecahan seratusan dan lima puluhan, yang diletakkan di atas meja di Ruangan Aula Kejari Sumenep, Selasa 16 juli 2019.

Uang itu, ternyata barang bukti BB hasil korupsi pembangunan Pasar Pragaan tahun anggaran 2014 silam. Yang tengah dikembalikan ke Kasda melalui Disprindag setempat. Nilainya Rp 699.008.000.

Uang ini dikembalikan setelah dinyatakan Inkrah, dengan dua terpidana inisial B dan A selaku kontraktor dan konsultan dalam proyek tersebut. Keduanya telah divonis 1,6 tahun panjara."Dalam penanganan perkara, yang terpenting bukan seberapa lamanya dipenjara, tapi penyelamatan uang negera,"tutur Kajari Sumenep, Bambang Panca.

Adapun nilai kontraknya, kata Bambang, dari pembangunan Pasar Pragaan tersebut, sekitar Rp 2,6 miliar. "Pengembalian keuangan ini merupakan kewajiban kami sesuai dengan salinan putusan Hakim (Tipikor) Surabaya,"paparnya.

Sementara itu, Sekertaris Daerah (Sekda) Pemkab Sumenep, Edi Rasiadi yang memberikan sambutan dalam penyerahan uang hasil korupsi itu, mengaku bersyukur uang negara berhasil diselamatkan oleh pihak kejari."Semoga kedepan tidak terulang lagi,"harapnya.

Semoga uang yang dikembalikan ke Kasda itu, nantinya bisa digunakan ke pembangunan lainnya yang tentunya lebih bermanfaat. Jangan sampai uang hasil sitaan korupsi masuk lagi ke kubangan yang sama, atau kata orang madura"Pessena ekorupsi polela, soro nemmu, ye tak nemmo nik".

Monday, July 15, 2019

Mahasiswa Cium Aroma "Main Mata" Lelang Jabatan di Sumenep


 Mahasiswa saat berunjuk rasa di kantor Bupati Sumenep, Senin 15 juli 2019.

SUMENEP: Proses lelang jabatan Pimpinam Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemkab Sumenep, mulai tercium aroma tidak sedap. Terbukti Sejumlah mahasiswa yang tergabung Front Keluarga Mahasiswa Sumenep (FKMS), berunjuk rasa di Kantor Bupati Setempat, di Jl. Dokter Cipto, Kecamatan Kota, Senin (15/7/2019).

Mereka menyoroti proses penjaringan pengisian kekosongan 9 OPD di lingkungan Pemkab Sumenep, yang dicurigai adanya indikasi "Main Mata", sebab, sebelum Panitia Seleksi (Pansel) melakukan tes, sudah ada 9 nama yang digadang-gadang akan mengisi kekosongan jabatan itu, "Sebelum ditetapkan sudah muncul nama-nama yang akan mengisi kekosongan pimpinan OPD yang beredar di medsos, ini khan indikasi kongkalikong,"ungkap Korlap aksi Sutrisno, Senin (15/7/2019).

Mahasiswa berjanji akan terus mengawal pelaksanaan lelang jabatan pimpinan OPD ini. Sebab, pengisian pimpinan ini merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam pembangunan Sumenep ke depan.

"Jika pimpinan OPD secara kualitas kurang mampu, dipastikan tidak akan membawa Sumenep ini ke arah yang lebih baik"katanya.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Pemkab Sumenep, Edy Rasiyadi, saat menemui mahasiswa memastikan tidak akan ada permainan dalam seleksi terbuka ini. Semua proses seleksi telah prosedural.

“Kami pastikan semuanya sudah prosedural dan jika ada masukan terkait dengan proses seleksi silakan disampaikan ke kami,” terangnya.

Sembilan OPD yang belum ada pimpinan definitif itu di antaranya Dinas Perhubungan, Disperindag, Dispendukcapil, Dinkes, Dispertahortbun, Dinas Satpol PP, DPMPTDP, dan BPKAD.

Sunday, July 14, 2019

Siswa Kreatif, Sampah Plastik Disulap Jadi Meja dan Kursi Cantik




Pamekasan:Yang namanya sampah ya tetaplah sampah, namun berbeda bila sampah berada di tangan siswa-siswi di Pamekasan, Madura,  Jawa Timur. Sampah plastik malah disulap menjadi meja dan kursi cantik dan menarik serta memiliki nilai jual tinggi. Penasaran khan…..

Mungkin sebagian orang tidak menyangka, bahkan bisa saja kaget, saat melihat meja dan kursi yang cantik ini, yang biasa diduduki orang di ruang tamu, ternyata  berbahan dasar sampah plastik.

Seperti yang dihasilkan oleh siswa SMA 4 Pamekasan.  Mampu membuat meja dan kusi cantik dari sampah plastik. Bahkan Dari tangan kreatif merekalah sampah plastik ini

Membuat meja dna kursi dari Sampah plastik ini, bukan serta merta langsung jadi, melainkan butuh proses, telaten dan keahlian dalam mendesain berbentuk meja dan kursi memiliki nilai ekonomis tinggi.

Dalam prosesnya, Pertam; sampah sampah plastic ini dikumupulkan dari lingkungan masyarakat sekitar, kemudian dipilah-pilah. Setelah itu sampah plastk yang masih bagus diambil dan dibersihkan.

lalu kemudain membuat ekobrik dari botol berukuran kecil dan besar. kemudian kemasan plastik itu dimasukkan ke dalam botol dan dipadatkan dengan cara ditusuk hingga penuh.

Dalam membuat satu set meja dan kursi, membutuhkan 40 botol ekobrik ukuran besar dan 9 botol ekobrik ukuran kecil dengan cara direkatkan. Kemudian melapisi dengan kulit kursi atau pengemasan.

“Dalam satu unit  meja atau kursi mebutuhkan waktu sekitar 3 minggu. Bahkan saat ini kami baru menghasilkan sekitar lima unit yang sudah dipesan,” ungkap siswa SMA 4 Pameksan, Vito.

Menurutnya, untuk pemasaran selain dijual secara online, juga dijual ke dinas-dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pamekasan dan di luar Pamekasan,” Harganya dalam satu unit bervariasi dari harga Rp 1 juta Rp 2 juta 500 ribu rupiah tergantung model dan pesanan konsumen,”tandasnya

Saturday, July 13, 2019

Pertemuan Jokowi-Prabowo, Sebuah Keniscayaan Dalam Berpolitik


Momen bersejarah yang ditunggu-tunggu, oleh rakyat Indonesia, akhirnya terjawab dengan bertemunya dua tokoh penting Jokowi-Prabowo. Sehingga dengan pertemuan itu menandakan sudah tidak ada lagi sebutan pendukung 01 maupun 02. Yang ada hanyalah Persatuan Bangsa Indonesia.

Pertemuan dua kontestan yang sempat bertarung keras, mengajarkan sebuah keniscaaan berdewasa dalam berpolitik. Karena berpolitik yang dewasa itu sangat menentukan terhadap stabilitas dalam berbangsa dan bernegara.

Sikap dewasa yang dicontohkan kedua tokoh ini, perlu dicontoh oleh para perpendukungnya, dengan ikut serta merajut kembali persaudaraan yang sempat retak. Oleh karena itu, saatnya saling berangkulan kembali, untuk bersama-bersama membangun bangsa ini kedepan dengan rukun dan damai. Karena bangsa yang besar itu sudah pasti dibangun di atas kepentingan bersama untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang maju, adil dan makmur.

Diharapkan, kedepan sudah tidak ada lagi istilah "Kampret dan Cebong", karena semuanya bersaudara sesamaa anak bangsa. Mari kembali beraktivitas kembali seperti semula, tanpa harus merasa sakit hati atau kecewa. Melainkan memberikan yang terbaik dengan karya dan prestasi untuk negeri tercinta ini.

Dengan begitu, maka negeri ini akan semakin disegani oleh negara lain di dunia, karena tetap mampu berdiri kokoh, solid dan bersatu sebagai negara yang majemuk, meski telah menghadapi berbagai tantangan dari segala penjuru.

Hemat penulis, kontestasi politik 2019, sebuah perhelatan politik yang paling menegangkan, dengan segala variannya. Tetapi negeri ini sudah teruji dan mampu melaluinya dengan damai dan kondusif. Semoga potret perpolitikan 2019 ini, menjadi inspirasi pergulatan kontestasi politik selanjutnya. Sehingga bangsa ini semakin matang dan dewasa untuk bisa bersaing dengan negara lain di dunia ini. Semoga!..
Wallahua'lam bissoweb...

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal d bluto sumenep, 14 juli 2019.

Friday, July 12, 2019

Menyoal Sumenep Lumbung Migas



(Menagih janji Dewan untuk bentuk BUMD khusus Migas)


Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, tidak hanya kaya akan kebudayaan dan kaya akan peninggalan sejarah yang berlatar belakang kerajaan. Tetapi Kabupaten Sumenep ternyata memiliki kekayaan alam yang melimpah. Termasuk memiliki ratusan kepulauan yang tidak dimiliki daerah lain di Indonesia.

Salah satu kekayaan alam yang paling melimpah. Yakni, sebut saja Sumber Minyak dan Gas (Migas). Bahwa di Kabupaten paling ujung timur Pulau Madura ini, memiliki sekitar 32 sumber minyak dan gas, 7 sudah ditawarkan ke investor dan 4 lainnya sudah beroperasi, (Baca: Koranmadura, Jumat 31/08/2018).

Namun, Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada itu, ternyata belum mampu mengentaskan angka kemiskinan yang relatif tinggi. Bahkan dalam LKPJ Bupati Sumenep tahun 2018, masyarakat miskin mencapai sekitar 7 ribu jiwa, atau sekitar 19 persen dari jumlah penduduknya, (Penamadura: Kamis, 21/03/2019).

Selain persoalan kemiskinan, juga yang sering mendapatkan sorotan mengenai infrastruktur. Utamanya di daeah kepulauan yang dekat dengan aktivitas operasi minyak dan gas tersebut.

Sangat ironis sekali, bila daerah terdampak Migas tidak diproitaskan pemenuhan infrastrukturnya. Padahal selaku daerah pengahasil sudah pasti ada "Dana Bagi Hasil (DBH) dan Corporate Sosial Responsibility (CSR) " yang seharusnya dimaksimalkan. Sangat tidak relevan kiranya bila sebuah perusahaan besar seperti PT. Kangean Energy Indonesia (KEI) yang disinyalir udah beroperasi sejak tahun 1993, tidak memberikan kompensasi yang layak untuk masyarakat terdampak, (Penamadura, Kamis (21/03/2019).

Sementara itu Komisi II DPRD Sumenep beberapa waktu lalu sempat mengusulkan pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) baru di Sumenep yang khusus bergerak di bidang minyak dan gas bumi (Migas) (beritajatim.com, Rabu (04/10/2017).

Dengan adanya BUMD khusus migas tersebut diharapkan mampu memaksimalkan Pendapatan Asli Daera (PAD) setiap tahunnya. Mengingat sejauh ini Pemerintah Kabupaten Sumenep mempunyai empat BUMD, yakni Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Bhakti Sumekar yang bergerak dibidang perbankan, PT Wira Usaha Sumekar (WUS) yang mengelola SPBU, kemudian PT Sumekar yang bergerak di bidang transportasi laut, PD Sumekar mengelola apotek, dan PDAM yang bergerak di bidang penyediaan air bersih.

Bisa dibayangkan, kalau satu BUMD saja bisa menyetorkan puluhan miliar dalam satu tahun, sedangkan di Sumenep terdapat empat BUMD, maka tinggal dihitung, berapa pemasukan ke PAD. Pasti ini akan lebih maksimal.

Semoga dengan kepemimpinan baru khususnya yang duduk di parlemen, nantinya betul-betul mewujudkan janjinya untuk memaksimalkan kekayaan migas di sumenep. Tentunya dengan kebijakan yang yang pro rakyat. Sehingga tidak terdengar lagi istilah " Miskin di Lumbung Migas", melaikan sebaliknya, Rakyat Sumenep akan semakin sejahtera berkat pengelolaan kekayaan Migas yang transparan dan proporsional..Semoga!..Wallahua'alam Bissoweb..

Penulis pecinta kopi hitam, tinggal di Bluto, 13 juli 2019.

Thursday, July 11, 2019

Momentum Lebaran Idul Adha, Khasanah Merajut Persaudaraan yang Mulai Rapuh


Lebaran Idul Adha yang tidak lama lagi, menjadi momentum penting untuk merajut kembali persatuan dan kesatuan bangsa yang mulai rapuh. Karena dalam lebaran ini, ada tradisi “silaturrahim”, yakni tradisi Saling memaafkan antar sesama, khususnya bagi ummat muslim. Dengan tradisi ini, menjadi solusi  yang sangat tepat untuk meminimalisir perpecahan dan permusuhan. Baik dalam pertemanan, keluarga, antar golongan maupun antar kelompok. Karena di momentum lebaran semua ummat muslim tengah larut dalam kemenangan, kebahagiaan serta semua persoalan yang sempat membebani baik dalam pemikiran, perasaan serta hawa nafsu, mayoritas sepakat meletakkan jauh-jauh demi menghormati hari besar Agama Islam tersebut.

Tidak hanya ummat muslim, momentum lebaran ini, juga didukung sepenuhnya oleh warga non muslim, dengan cara menghormati, tidak menciptakan kegaduhan apalagi mengganggu jalannya perayaan lebaran. Pun juga demikian, ummat muslim menghormati setiap warga non muslim yang merayakan hari besar agamanya, dijaga kondusifitasnya tidak saling mengganggu melainkan menghormati sesama warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  

Oleh karena itu, semua  ummat muslim dari berbagai jenis, profesi maupun jabatan yang melekat pada dirinya perlu terus menjaga dan melestarikan nilai-nilai kebersamaan, persatuan dan kesatuan dengan memanfaatkan momentum lebaran sebagai ajang  merajut kembali persaudaraan dengan tradisi “silaturrahim”. Di momentum ini, kesempatan untuk membuang jauh-jauh rasa gengsi, angkuh, dan kesombongan dengan cara yang sangat sederhana, yaitu bersalam-salaman dengan ucapan saling maaf memaafkan. Dengan seperti itu, maka pikiran negatif akan tersingkir dengan sendirinya, tersisih oleh pikiran positif  kedewasaan   yang timbul secara tiba-tiba akibat pengaruh momentum lebaran.

Sangat penting kiranya, bagi para elit maupun politisi, utamanya yang masih dilanda rasa kecewa maupun sakit hati pasca Pemilu, Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) untuk memanfaatkan momentum lebaran Idul Adha yang tidak lama lagi. Untuk dijadikan ajang saling memaafkan, dengan cara bersilaturrahim mendatangi ke kediamannya masing-masing guna merajut kembali persaudaraan yang sempat rapuh.  

Pemandangan seperti ini, sudah tidak asing lagi di negeri ini. Utamanya bagi tokoh-tokoh penting, bahkan penguasa  sekalipun secara tidak langsung secara politis banyak diuntungkan dari momentum hari lebaran tersebut. Justru bagi hemat penulis, terasa aneh bila penguasa di Negeri ini tidak menjadikan momentum lebaran ini sebagai ajang mempersatukan ummat sebagai Negara yang majemuk. Penguasa dituntut harus peka terhadap kondisi riil bangsa ini yang beraneka ragam, apalagi negeri ini didominasi oleh ummat muslim.

Apalagi di lebaran Idul Adha ini, terdapat anjuran berkurban bagi ummat muslim yang secara ekonomis berkecukupan. Dengan berkurban ini, Semakin menambah hasanah kehidupan social. Intraksi terus terpupuk sehingga keutuhan persatuan dan persaudaraan terus terpelihara. Berkurban tidak hanya sebatas dimaknai membagikan daging kurban, tetapi dibalik itu terdapat nilai sosial yang tinggi. Yaitu  mampu merajut persaudaraan dan  tali silaturrahim antar sesama, baik masyarakat biasa, penguasa dan pengusaha. 

Oleh karena itu, penulis berkesimpulan, bahwa momentum lebaran ini, sejatinya mempersatukan ummat dari semua lintas profesi maupun golongan. Semuanya sama sebagai masyarakat yang berjiwa luhur, berbudi pekerti, menghormati perbedaan dan menghargai sesamanya. Sehingga dengan momentum lebaran ini persatuan dan kesetuan bangsa di Republik ini akan semakin kokoh dan semakin disegani oleh Negara asing yang tidak memiliki tradisi “silaturrahim” yang menjadi cirikhas Masyarakat Nusantara ini.

Penulis penikmat kopi hitam, tinggal di Bluto Sumenep.

Monday, July 8, 2019

Mempertegas Keberpihakan Pemimpin Baru Terhadap Nasib Petani



(Sebuah catatan anak petani)

Pasca Pileg dan Pilpres, beragam pertanyaan mulai bermunculan, terkait kometmennya para pemimpin baru, baik yang duduk di parlemen, para Kepala daerah maupun Presiden terpilih yang telah dipilih rakyat. Apakah mereka betul-betul akan memperjuangkan nasib rakyat sesuai dengan janji-janjinya yang dituangkan dalam bentuk visi-misi saat masih mencalonkan?.
Lihat saja dalam perkembangannya nanti, apakah pemimpin baru itu nantinya membawa terobosan baru dengan perubahan dan harapan baru bagi rakyat, atau justru sebaliknya?, "kembali pada kubangan yang sama, tidak jauh lebih baik dari yang sebelumnya, Tsumma Naudubillah".

Saat ini rakyat butuh bukti nyata, bukan sebuah kekecewaan. Utamanya bagi masyarakat Madura pada umumnya, yang mayoritas petani. Dimana hingga saat ini "diakui masih belum tersejahterakan".

Petani di Madura saat ini, bisa dibilang tengah berjuang melawan teriknya matahari setiap hari untuk membesarkan tanaman tembakau yang merupakan tanaman alternatif di musim kemarau.

Mereka rela berpanas-panasan demi memperoleh keuntungan besar dari harga tembakau tahun ini. Karena tanaman tembakau sejauh ini masih menjadi tanaman primadona yang diyakini akan memperbaiki kondisi ekonominya.

Meski faktanya petani tembakau tak ubahnya berjudi. Karena sistim pemasarannya berbeda dengan pemasaran pada umumnya. Bahkan bisa dibilang sistim terlucu. Dimana petani tidak merdeka dalam menentukan harga tembakaunya sendiri, malah justru pembelinya dengan seenaknya mematok harga tembakau tersebut.
Pembeli tanpa melihat proses bagaimana petani dengan sekuat tenaga baik dari sisi biaya, tenaga untuk memproduksi tembakau. Sementara petani tidak berdaya karena nasib pertanian tembakau ada di tangan pabrikan maupun pihak gudang yang punya kuasa membeli tembakau.

Lalu dimana posisi pemerintah dalam memperjuangkan nasib petani tembakau?. Dimana kehadiran mereka dengan wujud yang nyata?. Jawabannya, selalu klasik, bahwa pemerintah tidak bisa membeli tembakau, apalagi sampai menghargai tembakau, karena persoalan harga tembakau sepenuhnya tergantung pabrikan maupun gudang selaku kuasa pembeli tembakau.

Nah, disinilah sebenarnya perlu diuji dan dipertegas kometmen para pemimpin baru ini. Baik para Wakil Rakyat (DPR) yang terhormat, maupun para Kepala Daerah, entah itu Bupati, Gubernur maupun Presiden. Seperti apa keseriusannya ketika melihat rakyatnya sudah tidak berdaya di bawah tekanan pengusaha yang super power. Semoga penguasa (Pemerintah) tidak bercengkrama dengan pengusaha dibalik penderitaan rakyat jelata yang kehidupannya sangat bergantung pada hasil pertanian.

Pemerintah harus tegas dengan kebijakan dan regulasi yang berpihak pada petani. Bahkan kalau perlu ada regulasi khusus tentang tataniaga tembakau yang berpihak pada petani. Sehingga antara petani dan pembeli sama-sama saling menguntungkan bukan sebaliknya. Wallahualam.

Mendambakan Figur, Mampu Penuhi Kebutuhan Masyarakat Sumenep



(Catatan Penikmat Medsos, menuju Sumenep 2020)

Belakangan, mulai marak di media sosial maupun pemberitaan, tentang siapa saja sosok figur yang dimunculkan untuk bertarung menuju Sumenep 2020.

Bahkan sejumlah nama, baik dari unsur fungsionaris Partai, Pengusaha, Kyai, Akademisi dan tokoh pemuda. Mulai disanding-sandingkan sebagai sosok pasangan yang disinyalir layak untuk memperebutkan Sumenep 2020.

Entah, seperti apa pembacaan dan tolak ukurnya, sehingga berkeyakinan sosok yang dimunculkan ke permukaan itu dinilai sesuai dengan kehendak masyarakat Sumenep.

Kalau dilihat dari kondisi sosial dan kulturnya, masyarakat Sumenep mayoritas agamis-religius. Artinya rata-rata masyarakatnya santri yang identik dengan pesantren. Jadi logis bila sosok yang diinginkan masih berlatar belakang dari Santri.

Di sisi lain masyarakat Sumenep juga plural dan lebih dinamis dari kebupaten lainnya di Madura. Jadi tidak menutup kemungkinan latar belakang lain, baik dari background bangsawan, pengusaha dan lainnya, juga bisa berkesempatan ikut serta berkontestasi merebut orang nomer satu di Sumenep. Semuanya serba mungkin, karena dalam dunia politik "Tidak ada yang tidak mungkin, karena yang ada hanyalah kepentingan abadi".

Sementara secara geografis, Sumenep terdiri dari Daratan dan Kepulauaan. Dan bila disederhanakan yaitu masyarakat petani dan nelayan. Sehingga wajar bila ada kolaborasi antara daratan dan kepulauan. Atau sangat logis pula belakangan marak bermunculan tokoh-tokoh kepulauan yang ingin maju mewarnai pencalonan Bupati dan Wakil Bupati 2020 mendatang. Hal itu didorong keinginan yang sangat kuat untuk memajukan wilayah kepulauan yang selama ini dinilai "Kurang mendapat perhatian".

Di sisi lain, pasca Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) kemarin, sejumlah Partai Politik yang perolehan kursi-nya dominan di parlemen, sangat berpotensi mempersiapkan kadernya mengikuti kontestasi untuk menjadi orang nomer satu di Kabupaten paling ujung timur Pulau Madura ini.

Fenomena semacam ini bukan hal yang baru di Republik ini. Apalagi persoalan perebutan kekuasaan tentu menjadi isu yang paling seksi, karena banyak orang yang berkepentingan di dalamnya.

Dan yang pasti paling dominan berperan dalam perebutan kekuasaan itu, adalah Partai Politik yang memilik kewenangan dan diatur dalam Undang-Undang pemilu untuk merekom serta mengusung figur yang dipilih oleh rakyat. Meski keinginan Parpol pengusung tersebut tidak semuanya seirama dengan hati pemilih secara umum. Karena faktanya, masih banyak sosok yang tidak di kader dari Partai Politik jauh lebih layak. Hanya saja karena faktor ketidak-beruntungan, sehingga tidak dilirik oleh Partai Politik tertentu.

Oleh karena itu, Maka Partai Politik perlu menghadirkan kamauan rakyat tidak melulu hanya berdasar politik pragmatis saja. Sehingga pemimpin yang dihasilkan nantinya betul-betul murni dari suara rakyat, yang seringkali hanya dijargonkan "Suara rakyat, adalah suara Tuhan".

Tidak berlebihan kiranya, ketika rakyat memimpikan sosok pemimpin Sumenep 2020 yang lebih visioner, perduli dan berpihak pada rakyat tanpa ada diskriminasi antara masyarakat daratan dan kepulauan.

Memang sepintas tidak mudah, karena keinginan itu kadang harus tergilas oleh pergumulan politik yang tidak bisa dikalkulasi secara matematis. Karena dalam politik, hari ini bisa merah, besoknya berubah putih dan seterusnya.

Tetapi yang terpenting, dalam mencari sosok pemimpin itu, harus mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat Sumenep, bukan berdasarkan keinginan para elit saja.

Sosok pemimpin itu tidak cukup bermodalkan latar belakang keilmuan dan segudang pengalaman, melainkan aksi nyata yang langsung dirasakan masyakat Sumenep pada umumnya. Wallahua'lam Bissoweb.

"Nguping" Perbincangan Figur Perempuan di Warung Kopi

"Nguping" Perbincangan Figur Perempuan di Warung Kopi

Sore itu saya tanpa terasa, menyimak perbincangan sekelompok orang di salah satu Warung kopi di sekitar Kota Sumenep.

Saat itu saya hendak mau pulang ke Rumah, namun saat melintas di salah satu Warung itu, saya kepingin sekali menikmati kopi hangat. Lalu tanpa berfikir panjang saya memutuskan ngopi sejenak.
Kemudian saya memesan kopi hitam sambil duduk santai di samping sekelompok orang yang tengah asik berbincang-bincang sambil sesekali terlontar canda tawa dari mereka.

Saya pun tidak menghiraukannya, fokus minum secangkir kopi hangat yang baru dipesan. Sepintas saya mendengar pembicaraan mereka seputar hasil Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 17 april 2019. Mereka layaknya pengamat menyikapi hasil pemilu yang sempat menyita perhatian publik.

Perbincangan terus mengalir, tanpa terasa saya pun larut, terjebak untuk menyimak isi dari yang diperbincangkan. Perlahan-lahan saya malah tambah penasaran untuk berlama-lama di warung itu. Apalagi pembicaraan mereka semakin mengerucut seputar Pilbup Sumenep 2020 mendatang.

Menariknya, dalam perjalanan diskusinya mereka menyinggung figur-figur perempuan untuk memimpin Kabupaten paling ujung timur Pulau Madura ini. Bahkan sejumlah nama yang tidak asing di telinga yang mereka sebut-sebut. Dimana belakangan, nama figur itu isunya akan ikut mewarnai kontestasi untuk merebut orang nomer satu di Sumenep.

Sebagian mereka sempat mengaku penasaran akan sosok pemimpin perempuan, akankah mampu memimpin Sumenep kedepan?. Sebagian juga pesimis karena dalam perjalanannya Sumenep belum pernah di pimpin seorang Kepala Daerah (Bupati dan Wakil Bupati) perempuan.

Karena menurut mereka, Madura pada umumnya dan Sumenep pada khususnya, masih kental dengan budaya "Patriarki" dimana laki-laki masih dominan dan manempatkan posisi perempuan sebagai manusia nomer dua. Bahkan stigma perempuan yang ranahnya hanya di "Sumor, dapur dan kasur" sejauh ini masih saja dirasakan utamanya di daerah pedesaan. Meskipun seiring perjalanan waktu stigma itu mulai luntur dengan sendirinya. Semenjak mulai terjadinya pemerataan pendidikan baik di pedesaan maupun perkotaan.

Itu artinya, bila berkaca pada masih kentalnya budaya "Patriarki" di kalangan masyarakat Madura, maka masih dirasa sangat sulit meloloskan sosok perempuan menjadi seorang pemimpin, apalagi sekelas Kepala Daerah (Bupati dan Wakil Bupati).

Sementara bagi yang optimis, memandang bahwa jaman sekarang ini, sudah bukan waktunya memperdebatkan antara sosok laki-laki dan perempuan. Tetapi sejauhmana kiprah dan kemampuannya dalam memimpin sebuah bangsa. Terbukti Gubernur Jatim dan Wali Kota Surabaya seorang perempuan, apalagi cuma Kabupaten Sumenep, bukan sebuah kemustahilan seorang perempuan nantinya yang malah akan membawa perubahan dan terobosan baru menuju Sumenep lebih maju.

Setelah sekian lama, menyimak perbincangan mereka mengenai sosok figur perempuan untuk Sumenep 2020. Penulis perlahan-lahan beranjak meninggalkan Warung kopi. Seraya di sepanjang perjalanan hingga tiba di rumah, pikiran berkecamuk dihantui berbagai pandangan, mengenai sosok figur perempuan untuk memimpin Sumenep kedepan seperti yang mereka diskusikan di Warung kopi itu.

Dan akhirnya penulis berkeyakinan, Masyarakat Sumenep, pasti akan berfikir yang matang dan maksimal, untuk melahirkan pemimpin yang layak menjadi "Rato Soengenep". Kota dengan latar belakang kerajaan dan memiliki sejarah yang panjang tidak akan mungkin dibiarkan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak memiliki ruh dan jiwa Sumenep. Jadi siapa pun nantinya yang akan memimpin Sumenep 2020-2024, sudah pasti orang yang terbaik selaku putra daerah yang berlatar belakang kerajaan ternama di nusantara ini. Wallaua'lam Bissowe.

Sekelumit celoteh Pecinta Kopi Hitam, bluto 06 juli.2019.




Melelahkan, Politik Tak Berkesudahan Energi Rakyat Terkuras Beruntun


(Menyimak Hajatan Demokrasi, Pileg, Pilpres, Pilkades serantak dan Pilbup 2019-2020)

Belum hilang rasa lelah pasca Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 17 April lalu. Kini rakyat di Kabupaten Sumenep, kembali dihadapkan pada pergumulan politik yang sesungguhnya. Yaitu, Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak pada bulan November 2019, kemudian disusul Pemilihan Bupati (Pilbup) tahun 2020 mendatang.

Di mana Pilkades serentak di Kabupaten Sumenep, direncakan akan digelar secara dua tahap, yaitu pada tanggal 7 dan 14 November 2019 mendatang. Ada 226 Desa se-Kabupaten Sumenep yang akan mengelar Pilkades serentak. Rinciannya 174 Desa di wilayah daratan dan 52 Desa di wilayah kepulauan.
Dua agenda hajatan pesta demokrasi itu, sudah pasti akan menguras pikiran dan tenaga semua lapisan. Termasuk kerja ekstra aparat keamanan dalam mengawal jalannya pesta demokrasi di tingkat paling bawah. Di samping itu letak geografis, di mana Kabupaten paling ujung timur pulau Madura ini, terdiri dari dua wilayah daratan dan kepulauan yang membutuhkan perhatian penuh guna kelancaran dan kesuksesan pelaksanaan Pilkades serentak tahun ini.

Hemat penulis, Pilkades sejatinya kunci untuk mensukseskan pembangunan secara nasional. Sebab hasil dari proses Pilkades itu, nantinya akan menjalankan semua kebijakan mulai dari tingkat Kabupaten hingga ke tingkat pusat. yang pastinya sesuai dengan yang dicita-citakan bersama. Maka dari itu perlu mendapatkan perhatian penuh, utamanya bagi rakyat Sumenep untuk melahirkan pemimpin yang terbaik sejalan dan selaras dengan keinginan rakyat itu sendiri.

Namun, perlu dipahami, bahwa Pilkades adalah pesta demokrasi yang tidak hanya persoalan politik pragmatis saja. Tetapi lebih komplek. Yaitu menyangkut tatananan sosial, moral, etika (tengka) serta kondusifitas pasca Pilkades tersebut.

Sebab seringkali terjadi gejolak imbas pilkades, menjadi pertikaian antar individu, kelompok dan antar keluarga. Bahkan yang sangat tragis sampai pernah terjadi pembongkaran kuburan, (Ajimuddin: Politik di Desa). Yang tentunya, Hal semacam itu, sangat tidak diharapkan terulang kembali. Oleh karena itu, perlu ada kesadaran semua pihak agar ikut serta benkontribusi menciptakan suasana kondusif. Menjegah terjadinya provokasi, perang opini yang saling menyudutkan antar pendukung, maupun antar kelompok, sehingga terjadi pembelahan, dan aksi-aksi yang berakibat fatal terhadap stabilitas keamanan di wilayah hukum Sumenep.

Setelah Pilkades, nuansa politik masih akan terus berlanjut hingga ke Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati (Pilbup) kabupaten Sumenep 2020. Yang tentunya tidak kalah lelahnya untuk terus menyita perhatian rakyat Sumenep, guna melahirkan pemimpin lima tahun kedepan ke arah yang lebih baik, di bawah kepemimpinan baru dengan corak dan tampilan yang baru.

Selamat berdemokrasi yang sehat dan santun tanpa harus saling menyakiti, Melainkan saling bersikap dewasa dengan mental siap menang dan siap kalah. Semoga..

Celoteh pecinta kopi hitam, bluto 9 juli 2019.