Thursday, July 25, 2019

Demokrasi, atau Sekedar Pertarungan Bandar Politik


(Celoteh Si Bohayy di Kantin Bu. Jono)


Siang itu, tanpa sengaja dipertemukan dengan Si Bohayy di Warung pojok Dewan, milik Bu Jono. Tegur sapa pun berlangsung, lalu duduk sebangku sambil diskusi kecil mengalir, tidak terasa sesekali canda tawa spontan terlontar.

Di tengah canda tawa Si Bohayy dengan cirikhas topi hitamnya, diiringi gerakan tubuhnya yang lentur. Perlahan-lahan menyentil persoalan perpolitikan yang dibungkus dengan pesta demokrasi yang berkembang belakangan ini. Penulis sontak tertarik mencoba mengorek dan memancing Si Bohayy untuk mengeluarkan pandangannya tentang perpolitikan di tanah air.

Dari sekian perbincangan terkait politik, penulis berusaha menggiring ke isu lokal, yaitu menuju Sumenep 2020. Spontan SI Bohayy semakin energik untuk mengemukakan pandangannya. Sehingga dari sekian pandangan SI Bohayy terkait Sumenep 2020, penulis sedikit banyak mendapatkan imformasi baru. Namun yang menarik dari perbincangan dia, bahwa "Demokrasi sejatinya pertarungan bandar politik," dimana dalam ranah ini, tiada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang sejati.

Semua bertaruh unjuk kekuatan dan unjuk peranan  dalam politik transaksional yang ujung pangkalnya untuk melanggengkan poros oligarki atau menciptakan oligarki baru. Ibaratnya, elitnya berteman, pionnya disuruh bermusuhan. Seperti  yang terjadi pembelahan dukungan antara kubu 01 dan 02 sehingga muncul istilah "cebong-kampret". Tetapi fakatanya saat ini para elitnya mulai berangkulan, dan mulai duduk bersama. Entah, apa isi dan maknanya dari peristiwa rangkulan itu, karena yang tahu hanyalah mereka.

Sementara "Publik" yang kadung bermusuhan akan menanggung resiko sosial-politik dalam relasi narasi keseharia. Sedangkan "Para bandar" akan berhitung untung-rugi, begitu pun para pemburu rente sudah siap dalam posisi gigi satu dan tancap gas untuk cepat melakukan manufer dengan kacamata kuda dengan menyalip atau mengubah dukungan agar tidak keteteran dalam perebutan kue-kue pembangunan di masa mendatang.

Menang-kalah akan berdampak kepada logistik yang ditariknya, jika kalah harus mengembalikan logistik yang digunakan dalam termin tertentu yang kadang bisa membuat kandidat bangkrut. Tapi jika menang pun akan tersandera, karena juga akan mengembalikan nilai yang serupa berupa imbal jasa dalam bentuk yang lebih halus berupa proyek-proyek pembangunan, atau saya menyebutnya “kue politik”.

Lantas siapa yang diuntungkan dalam pesta demokrasi itu? Tentu saja publik, tapi publik yang berwajah bandar dan oligarki dalam jubah kapitalisme.

Publik, dari mulai buruh, petani, seniman hingga akademisi digiring menuju ladang balot elektoral saat pemilu/pilkada. Namun tetap saja demokrasi kotak suara hanya janji manis oligarkis. Demokrasi politik liberal yang bersekutu dengan ekonomi kapitalis neoliberal telah menciptakan krisis partisipasi publik.

Pengadopsian ideologi neoliberal secara masif dalam politik elektoral yang dianut oleh para kandidat, hanyalah untuk mentransformasikan seluruh bangunan relasi-relasi sosial menjadi pasar bebas yang endingnya menjadikan warganya yang konsumtif. Wallahu'alam Bissoweb.

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di Bluto Sumenep, 25 juli 2019.

1 comment: