Wednesday, December 18, 2019



Mungkinkah Alam Sudah Murka?

Sebuah pertanyaan yang selalu terniang, ketika melihat kondisi Alam saat ini. Di mana kondisi cuaca yang tidak menentu. Musim kemarau panjang tahun ini menyebabkan terjadi kekeringan di mana-mana. Namun setelah musim hujan tiba justru disertai angin kencang dengan puting beliungnya yang dengan mudah meluluhlantakkan sejumlah bangunan dan merobohkan pepohonan.
Belum lagi bencana Alam lainnya yang silih berganti yang terjadi di berbagai daerah di Negeri ini. Seperti banjir, longsor, gunung meletus, gempa bumi dan bencana alam lainnya yang kerap kali melanda negeri ini. Entah, itu semua bentuk ujian atau sebuah "azab" kepada Manusia yang telah membuat "kerusakan" di bumi ini.
Penulis hanya bisa merenung dan meresapi dari berbagai kejadian Alam yang melanda di belahan Bumi khususnya di Negeri tercinta ini.
Anehnya lagi, musim hujan yang terjadi di wilayah Sumenep saja saat ini, malah tidak merata, ada sebagian daerah yang hujan ada yang tidak, bahkan ada yang hanya kebagian awan tebal dan petirnya yang menggelegar. Itu pun setelah turun hujan pertama untuk hujan selanjutnya jaraknya lama bahkan hingga puluhan hari lamanya. Kondisi semacam ini membuat petani dihantui rasa waswas dan ketar-ketir, berhubung keberlangsungan hidupnya tergantung pada iklim untuk bisa bercocok tanam di setiap tahunnya.
Sebab bila kondisi hujan tidak normal bibit pertanian yang terlanjur ditanam tidak akan tumbuh berkembang dengan baik. Malah sebaliknya, akan mengering dan perlahan-lahan mati karena kekurangan pengairan.
Penulis seringkali dapat curhatan petani yang sudah lansia, menurutnya, kalau dulu disaat musim hujan tiba, maka semuanya merata sehingga petani dengan serentak bercocok tanam bersama-sama khususnya di wilayah Madura. Tetapi belakangan kondisi cuaca sudah tidak menentu. Bahkan di tahun ini, yang sudah memasuki pertengan Bulan Desember musim hujan masih terbilang belum normal, padahal kalau dulunya bulan Desember itu tanaman pertanian sudah tumbuh dan berkembang dengan sangat baik.
Bahkan seingat penulis, di saat masih kecil dulu, bila musim hujan sudah tiba, maka curah hujannya sangat tinggi bahkan bisa dibilang tiap hari sudah pasti terjadi hujan. Sehingga petani tidak khawatir lagi tanaman pertaniannya akan kekurangan pengairan. Termasuk bagi petani padi yang membutuhkan pengairan yang banyak. Tidak perlu bersusah payah membawa mesin pompa air untuk melakukan pengairan. Karena sawahnya sudah tergenang air hujan, sehingga petani tinggal mengolahnya dan menanam bibit padi tersebut.
Semoga saja petani tahun ini tidak putus asa dan patah semangat. Siapa tahu besok atau kapan kondisi cuaca masih bersahabat dengan petani. Mari perbanyak berdoa kepada ALLAH SWT. Semoga diberikan hujan yang berkah dan menjadikan petani meraih kesuksesan dengan hasil penen yang melimpah di musim hujan tahun ini. Semoga!

Thursday, December 12, 2019



Petani Mulai Krisis Generasi

(Catatan, Keluh Kesah Anak Petani)

Sebuah rutinitas tahunan, setiap musim hujan tiba, petani mulai berbondong-bondong mengolah sawahnya untuk menanam jagung dan tanaman lainnya.
Hanya saja saat para petani yang bercocok tanam, usianya tidak muda lagi, kisaran 40 an ke atas.
Anehnya, meski petani punya anak jarang sekali terlihat mendampingi mengolah sawahnya. Hanya sang ibu yang setia menemani sambil menaburkan benih jagung ke goresan tanah yang dibajak secara tradisional menggunakan tenaga hewan ternak sapi.
Pengalaman saya dulu sekitar 10 tahun yang lalu bapak saya seringkali mengajak ke sawah meski hanya sekedar membawa sapi atau memikul bajaknya. Entah kalau sekarang belum saya lihat anak muda petani membantu memikul bajak dan membawa sapi ke tengah sawah.
Apalagi di jaman milenial ini, anak petani yang sudah mengenyam dunia pendidikan hingga sarjana lebih tertarik bekerja kantoran atau menjadi pengusaha bahkan juga ada yang memilih menjadi buruh. Sang orang tua pun tidak kuasa memaksa anaknya menjadi petani. Karena kebanyakan doanya sang bapak tani, yang sering saya dengar," Rokaroa engkok cong semalarat, tinah been ter tak enga'a engkok tak malarat ataneh". Dan benar adanya doa bapak tani tersebut terkabul sehingga banyak anak petani yang mulai tidak tertarik bertani.
Padahal petani merupakan penjaga gawang negeri ini, bisa dibayangkan kalau misalkan tidak ada yang mau bertani. Lalu apa yang mau dimakan semua penduduk di negeri ini.
Belum lagi lahan pertanian banyak beralih fungsi menjadi gedung bertingkat. Lihat saja di berbagai daerah perkembangan pembangunan di lahan produktif.
Petani jangan dipandang sepele sebelum menyesal nantinya. Perlu perhatian semua pihak termasuk pemegang kebijakan untuk keberlangsungan produktivitas pertanian. Perlu persiapan SDM yang lebih berkualitas dan moderen di bidang pertanian. Sehingga hasil pertanian juga menjanjikan tidak kalah dengan penghasilan dari penghasilan swasta maupun para pejabat di negeri yang kaya ini. Save petani.

Thursday, August 29, 2019

Bacakades Aeng Panas Serukan Pilkades Aman dan Kondusif



Sumenep: Berbeda dengan yang difkirkan banyak orang akan nuansa ketegangan mewarnai Pilkades Aeng Panas karena banyaknya calon, ternyata semua Bakal calon Kepala Desa Aeng Panas ramai ramai penuh persaudaraan hadiri penutupan masa penjaringan Bacakades Aeng Panas Kamis sore (29/08/2019). di balai desa.

Semua Bacakades berkometmen untuk menciptakan situasi Pilkades yang aman, damai, kondusif dan berintegritas. di akhir acara semua bakal calon secara bergantian berdoa untuk keselamatan pelaksanaan Pilkades dan kedamaian desa, mereka sejak awal bahkan duduk berdampingan tanpa jarak dan foto bareng dengan mengangkat tangan saling merangkul simbol persaudaraan.

Pj Kades Aeng Panas Ach Subairi Karim dalam sambutannya mengaku senang dengan suasana keakraban yang ditunjukkan calon.

" Banyak calon banyak pilihan, mari terus jaga semangat persatuan dalam perbedaan. Banyak calon adalah juga potensi mengurai dukungan tidak jatuh pada polarisasi perpecahan yg ekstrim", ujarnya mencoba menepis dugaan dugaan negatif dari banyaknya calon.

Pernyataan tersebut juga dikuatkan Ketua Panitia Imam Sutaji bahwa kita ingin menepis anggapan bahwa tak ada ketegangan disini, yang ada keseruan dan keakraban, katanya berurai senyum. Bahkan kabar ada calon dari luar sampai detik penutupan penjaringan tidak ada.

"Ternyata tak ada calon dari luar desa, kita tak kehabisan stok calon pemimpin hebat. Situasi keakraban antar calon ini mohon terus dijaga sampai hari pencoblosan", katanya disambut tepuk tangan.

Sementara Pimpinan BPD Suhari sebagai pengawas juga mengharapkan agar Bacakades terus membangun komunikasi dengan panitia setiap menjumpai berbagai peristiwa dalam seluruh tahapan.

"Jangan endapkan masalah atau peraturan yang tak difahami, komunikasikan dengan Panitia atau pengawas, kita semua ingin suasana kondusif", katanya mengakhir sambutan.

Akhirnya Ketua Panitia menutup masa akhir penjaringan dengan 7 (tujuh) orang bakal calon. Panitia masih akan menangguhkan proses berikutnya dengan terus berkoordinasi dengan pihak kecamatan dan kabupaten, karena menurut informasi calon yang lebih dari lima calon juga akan dilangsungkan uji kompetensi dari tim independen. (Zbr).

Wednesday, August 28, 2019

"Pa'-Lopa' ", Budaya Nenek Moyang dalam Mempererat Persaudaraan




"Pa'-Lopa'" ,Rokoknya Para Leluhur

Belum hilang dari ingatan saya, saat masih kecil dulu, di mana pada waktu itu almarhum Kakek saya masih hidup. Sering saya lihat ketika ada kerabat ataupun tamu yang datang, maka pertama kali yang dilakukan Kakek menyodorkan "Pa'-lopa' "sambil lalu berbincang-bincang dengan penuh kedamaian dan kegembiraan. Sambil melinting rokok atau lumrahnya dikenal "Mesyel" lalu datang sang Nenek menyodorkan kopi hitam hangat. Sontak kegembiraan mereka bertambah dengan kehadiran kopi hangat yang merupakan pasangan harmonis dengan tembakau asli atau Pa'-lopa' tersebut.

Menariknya, dari perbincangan mereka, mulai seputar pertanian, hewan ternak hingga cerita-cerita masa kecil mereka dahulu. Bahkan yang tidak kalah menariknya, saat mereka bercerita kejadian lucu-lucu dari orang-orang dahulu yang pernah mereka dengar. Sontak gelak- tawa pun pecah siiring semburan asap dari rokok Pa'-lopa' yang mereka hisap.

Tanpa terasa mereka berjam-jam duduk santai sambil berbincang-bincang banyak hal. Sehingga rasa persaudaraan di antara mereka tambah erat berkat pengaruh tembakau Pa'-lopa' yang menjadi alat komunikasi mereka. Bahkan tidak hanya itu, budaya gotong royong pun tetap terbangun, terbukti di akhir perbincangan mereka. Sang Kakek meminta bantuan untuk mengolah sawah untuk bercocok tanam, yaitu tanaman jagung miliknya. Seketika itu kerabat yang diajak ngobrol itu menyanggupi tanpa meminta bayaran ongkos membajak sawah Kakek. Mereka hanya cukup disuguhi makan dan kopi serta tembakau Pa'-lopa' yang dibawa ke lokasi sawah yang dibajak tersebut. Terlihat dengan penuh kedamaian di sela-sela istirahat mengoprasikan bajak sawah tradisional menggunakan sapi, mereka menikmati makanan, kopi hangat dan Pa'-lopa' di bawah pohon yang teduh di pinggir sawah. Sungguh luar biasa sebuah bangunan badaya nenek moyang dahulu, yang belakangan sudah nyaris tidak pernah ditemukan lagi di masyarakat pedesaan di zaman yang makin moderen ini.
Di mana budaya gotong royong mulai luntur. Tidak bisa dipertahankan lagi. Sebab saat ini tradisi gotong royong sudah berubah ke ukuran matari. Sekarang setiap mengolah sawah, ataupun memetik tembakau dan merajang semuanya harus diongkos. Sudah tidak ada lagi istilah gotong royong lagi. Padahal dulu saat saya masih kecil, mulai dari tanam bibit tembakau hingga panen sistimnya gotong royong giliran dengan petani lainnya. Entah kedepannya seperti apa karena kondisi zamanya terus berubah seiring perkembangan yang semakin pesat dan semakin moderen dengan semakin banyaknya alat pertanian yang semakin canggih. Wallahu'alam Bissoweb.

Penulis, pecinta kopi hitam.

Tuesday, August 20, 2019

Sumpah dan Janji Dewan, Sejatinya Amanah yang Dipertanggungjawabkan

Pengucapan Sumpah dan Janji Anggota DPRD Sumenep Masa Jabatan 2019-2024

Bersamaan dengan nuansa HUT RI ke 74, sebanyak 50 Anggota DPRD Sumenep masa jabatan 2019-2024 telah diambil Sumpah dan janjinya di Pendopo Kraton Sumenep, 21 Agustus 2019.

Dengan begitu, para wakil rakyat ini dengan segenap jiwa dan raganya sudah mengemban amanah untuk memperjuangkan nasib rakyat. Para wakil yang sudah dilantik ini otomatis berkewajiban mencarikan solusi berbagai persoalan yang akan dihadapi rakyat lima tahun kedepan.

Tidak ada alasan lagi bagi Dewan yang dipilih oleh rakyat, untuk tidak memperjuangkan nasib rakyat. Semua janji yang digambar-gemborkan sejak masa kampanye betul-betul harus dibuktikan. Jangan sampai mengecewakan, apalagi menghianati kepercayaan rakyat. Sebab "Suara Rakyat adalah Suara Tuhan" yang pertanggungjawabannya tidak hanya secara sosial tetapi yang paling merinding pertanggungjawaban kepada Tuhan.

Sepintas, jabatan itu terlihat seksi dan menggiurkan. Namun, dibalik itu sebuah tugas yang sangat berat. Bagaimana memikul amanah rakyat untuk diwujudkan semaksimal mungkin. Karena setiaap saat akan selalu ditagih sesuai dengan sumpah dan janjinya kepada rakyat. Semoga 50 orang yang akan duduk di parlemen ini, betul-betul sejalan dan selaras dengan kehendak rakyat. Selamat bertugas dan menjalankan amanah rakyat. Semoga Sumenep kedepan akan lebih baik, di bawah tangan wakil rakyat yang baru dilantik tersebut. Semoga!.

Penulis, pecinta kopi hitam.

Friday, August 16, 2019

Keranda

               Kendaraan Terakhir Manusia

Keranda, kendaraan ini meski jarang disebut, tetapi ini kendaraan paling berarti di akhir perjalanan hidup manusia. Bahkan kendaraan inilah yang mengantarkan ke tempat pembaringan terakhir manusia hingga hari kiamat. Inilah kendaraan yang diistilahkan,"Terbang tanpa sayap, berjalan tanpa kaki,".
Misteri Kendaraan ini, tanpa membedakan status sosial manusia. Karena semua orang mulai dari yang muda hingga dewasa tanpa terkecuali sudah pasti menaiki kendaraan ini.
Bila diresapi, alangkah bersyukurnya manusia diciptakan menjadi mahluk paling mulya dari mahluk lainnya, hingga ke tempat terakhir pun masih diantar menggunakan kendaraan "Keranda".
Semoga dengan meresapi kendaraan penuh misteri ini, dapat mengingatkan manusia, bahwa dunia bukan segalanya. Meminjam bahasanya Peterpen," Tak ada yang Abadi di dunia ini,". Karena keabadian yang sesungguhnya adalah di Akhirat.

Meratapi dari keranda ini, apa yang dimiliki di dunia tidak berarti. Karena yang akan dibawa hanyalah amal kebaiknya selama masih hidup di dunia. Semoga kita semua dimasukkan dalam golongan manusia yang Khusnul Khotimah di akhir hayatnya. Semoga!.

Penulis, pecinta kopi hitam.

Wednesday, August 14, 2019

Kemerdekaan Bukan Sekedar Euforia!


Seringkali dijumpai di berbagai tempat, beragam kegiatan momentum Hari Kemerdekan Republik Indonesia. Baik kegiatan yang bersifat perlombaan, maupun segudang kegiatan lainnya. Yang terkadang jauh dari substansi cita-cita kemerdekaan itu sendiri. Justru yang nampak hanya terkesan euforia tahunan. Mestinya HUT RI itu, dimaknai dengan kegiatan yang lebih membangun dan menyeluruh dengan mengedepankan nilai dan prestasi, utamanya yang menyangkut pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM).

Sebab, tantangan para generasi di zaman milenial ini sangat kompeleks, perlu pembekalan dan persiapan secara matang, untuk bisa bersaing dengan negara lain. Para generasi dituntut memiliki wawasan luas dan menyeluruh. Sehingga tidak mudah terperangkat oleh tipu muslihat negara yang sudah maju.

Yang salah satunya, bagaimana desain dari sejumlah kegiatan momentum kemerdakaan itu, lebih berkualitas yang berdampak pada aspek keilmuan maupun pengetahuan para generasi bangsa ini kedepan.

Sangat disayangkan bila generasi milenial ini, secara keilmuan dan pengetahuannya masih saja berkutat di skala lokal, tak uabahnya coppy paste dari generasi sebelumnya. Seharusnya generasi milenial sudah go international. Membuktikan capaian prestasi kepada dunia, bahwa generasi bangsa Indonesia juga mampu bersaing menjadi pelaku dari perkembangan pengetahuan itu sendiri.

Oleh karena itu, perlu membuang jauh-jauh budaya "Latah" menjadi pengagum dan penonton budaya luar, tanpa melihat potensi yang ada, di mana bila dikembangkan dengan sungguh-sunggug jauh lebih sempurna dari budaya luar yang sifatnya pragmatis belaka.

Bahkan, yang lebih menyedihkan lagi, bagi hemat penulis, di saat negara luar sudah bicara penemuan terbaru, di negeri ini masih sibuk mengurusi angka buta huruf, kemiskinan, kesenjangan sosial dan persoalan bagi-bagi kursi jabatan dan semacamnya. Justru dengan keterbelakangan itu, semakin dibuat ketergantungan oleh negara luar, dengan segala tampilan pengetahuannya. Masyarakat kita ini "Terkesan semakin dibodohi,". Berhubung SDM yang ada tidak mampu mengimbangi mereka. Sehingga harus pasrah pada nasib di bawah tekanan kapitalisme global.

Semoga di momentum HUT RI ke 74, bangsa ini jauh lebih peka, dalam memaknai Hari Kemerdekan. Tentunya dengan pola pikir yang jauh lebih maju dan lebih berkualitas lagi dalam membangun SDM yang siap bersaing dengan dunia international di masa-masa yang akan datang. Semoga!

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di Bluto Sumenep, 14 Agustus 2019.

Saturday, August 10, 2019

Tradisi Potong Ayam Kampung, Sambut Lebaran Idul Kurban

Ayam Kampung Dipanggang

Beragam tradisi menyambut Lebaran Idul Adha, salah satunya tradisi potong ayam kampung untuk suguhan Jamaah Solat Ied.

Tradisi ini potong ayam kampung ini, biasa dilakukan oleh warga Desa Meddelen, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep. Setiap warga di Desa ini, kompak potong ayam kampung. Namun dalam proses memasaknya juga berbeda. Ayam yang dicabuti bulunya itu, kemudian 'diopor' atau dipanggang sampai matang, sehingga mengeluarkan aroma yang berbeda dari cara memasak biasanya.

"Masakan ini nantinya di bawa ke langgar atau Masjid, untukn suguhan jemaah usai laksanakan solat IED," kata salah seorang warga, Nurhayati

Di samping itu, kata dia, masakan ini juga diantarkan ke sanak famili dan tetangga sekitar sebagai suguhan lebaran." Hal semacam biasa baik Idul kurban maupun Idul fitri," tandasnya.

Wednesday, August 7, 2019

Misteri, Jabatan Pemimpin Banyak Diburu tapi Marak Dibui



Bagi orang awam seperti Saya, hanya bisa bilang aneh, heran dan penuh misteri. Ketika melihat para pemimpin yang endingnya berakhir dibui. Padahal para pimimpin itu, sejauh pemahaman saya, merupakan putra terbaik di daerah yang bersangkutan. Karena kalau bukan putra terbaik rasanya mustahil dipilih oleh rakyatnya.

Entah, kalau dalam kacamata berbeda. Misalkan diteropong dari sudut politik atau persoalan lain. Terlepas dari itu, yang namanya pemimpin, saya tetap meyakini adalah putra terbaik.

Cuma, yang membuat saya selalu bertanya-tanya kenapa justru banyak pemimpin yang berakhir dibui? Yang rata-rata terjerat kasus korupsi. Setelah dipikir panjang pemimpin itu, kalau di pemerintahan sejatinya pelayan rakyat. Saya yakin pikiran dan tenaganya setiap saat terkait kebijakan untuk kepentingan rakyat. Tetapi mengapa masih terjerat hukum. Dan kasus korupsi lagi? Padahal mereka sudah jelas-jelas gajinya tidak kecil. Rasanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan keluarganya sudah lebih dari cukup, dibanding orang biasa yang juga memiliki tanggungan keluarga.

Apanya yang salah ya? Yang semestinya seorang pemimpin itu, dihormati, disegani, kharismatik, pokoknya full sempurna lah. Tetapi faktanya, semenjak berdirinya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2002 silam di masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, (Sindo.news.com, 20/8/201/), hingga sekarang sudah berapa banyak para pemimpin yang dibui.

Bahkan, dilansir dari (tribunnews.com, 29/01/2019) disebutkan sejumlah pelaku korupsi di sektor politik yang ditangani KPK berjumlah 69 orang anggota DPR, 161 orang anggota DPRD, 107 orang kepala daerah.

Para politisi tersebut melakukan korupsi bersama-sama pihak swasta seperti pemegang izin perkebunan, kehutanan, izin mendirikan bangunan proyek-proyek besar, dan pelaksana proyek pengadaan di pusat dan daerah, serta pejabat level atas di birokrasi.

Jika semua ditotal, lebih dari 60 persen dari seluruh pelaku korupsi yang ditangani KPK merupakan korupsi politik atau dilakukan bersama-sama aktor politik.

Meskipun begitu, faktanya hingga saat ini jabatan pemimpin itu masih jadi rebutan paling seksi. Mulai dari tingkat Desa.(Pilkades) pemilihan Bupati, Gubernur dan pemilu Presiden
ternyata Masih banyak orang-orang yang merasa memiliki kemampuan dan kekuatan bertarung untuk merebut kekuasaan tersebut. Entah, niatannya betul-betul ingin mengabdi menjadi pelayan rakyat, atau sebaliknya untuk memperkaya diri yang endingnya dibui.

Padahal, kalau melihat kinerjanya KPK belakangan yang seringkali melakukan OTT di sejumlah tempat, seolah kasus korupsi di negeri ini akan habis. Namun, kenyataan berbicara lain. Terbukti sejak belasan tahun KPK berdiri hingga sekarang, kasus korupsi dipertontonkan nyaris tiap hari di televisi. Bahkan tak jarang pelaku yang disorot kamera senyum-senyum saja seolah tidak pernah merasa berdosa, dan terkadang masih mengelak tidak mengakui perbuatannya dengan menyewa pengacara handalnya. Sepintas saya selaku masyarakat awam dibuat bingung dengan persoalan korupsi itu sendiri.

Sampai kapan istilah korupsi itu akan leyap dari pandagan dan pendengaran kita? Lalu bila sejumlah institusi hukum sudah tidak mampu memberantas kasus yang merugikan uang negara itu. Lantas ke siapa lagi persoalan itu akan bisa beres ditangani. Biarlah rumput bergoyang yang menjawabnya. Semoga kedepan para pemimpin di tanah air, mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi dan tingkat pusat. Betul-betul memiliki kometmen untuk mengabdi menjadi pelayan rakyat hingga berakhir dari jabatannya yang membahagiakan dan membanggakan. Sehingga sampai kapanpun akan selalu mendapatkan tempat di hati rakyatnya. Wallahu'alam Bissoweb.

Penulis, pecinta kopi hitam tinggal di bluto, 7 agustus 2019.

Tuesday, August 6, 2019

Selamat Jalan Mbah Moen, Sosok Penginspirasi dalam Pemersatu Bangsa


Mendengar kabar KH. Maimoen Zubair atau yang dikenal Mbah Moen telah tutup usia di usianya yang ke 90, pada Selasa 6 Agustus 2019. Hati ini sontak terkejut seolah tidak percaya, bahwa telah kehilangan sosok Ulama kharismatik di negeri ini yang telah dipanggil oleh yang Maha Kuasa.

Meski Saya belum pernah ketemu langsung, tetapi saya seringkali menonton ceramah-ceramah beliau di youtube. Saya sangat mengagumi beliau, sebab bila mendengar petuahnya sangat menyejukkan, bermakna dan kaya akan sejarah. Wawasan beliau tentang keislaman dan keindonesiaan sangat luas.
Beliau sangat gigih menanamkan rasa cintanya pada negeri ini. Bahkan beliau salah satu sosok menjadi ikon pemersatu bangsa yang sempat terbelah di momentum Pilpres, kemarin.
Bagi penulis, sosok beliau sangat menginspirasi, termasuk mengajari bagaimana cara merawat dan menjaga keutuhan NKRI. yang menarik seringkali beliau menjabarkan tentang keajaiban negeri ini. Bahkan, entah yang ke berapa kalinya, saya mendengarkan ulasan Mbah Moen, tentang keajaiban negeri ini, termasuk mengenai Hari Proklamasi Kemerdekan 17 Agustus 1945, dikaitkan dengan sejumlah peristiwa Nabi Muhammad SAW.

Sehingga beliau menyebutkan angka 17/8/1945 itu merupakan angka ajaib. Sebab kata beliau Rosulullah sendiri juga tidak bisa dipisahkan dari angka 17 tersebut. Seperti peristiwa turunnya Alquran atau yang dikenal Nuzulul quran yang juga jatuh pada 17 Ramadan yang bertepatan juga dengan bulan Agustus, bahkan kata beliau pindahnya Nur Muhammad SAW, ke Rahim Siti Aminah Ibu Kandung Rosulullah, juga bertepatan dengan 17 Agustus. Kemudian solat setiap hari yang jumlahnya juga 17 rokaat. Jadi, angka 17/8/1945 itu termasuk angka yang aneh. Dan yang lebih aneh lagi bagi penulis saat beliau wafat pada bulan Agustus juga, bulan yang seringkali beliau sebutkan dalam ceramah-ceramahnya. Untuk lebih jelasnya pembahasan beliau mengenai keajaiban negeri ini bisa ditonton ceramah beliau saat Haul Almarfurlah Gus Dur di youtube. Beliau sangat gambalang menjelaskan, termasuk menjelaskan filosofi mengenai Burung Garuda dimana sayap kanan dan kirinya masing-masimg berjumlah 17.

Jadi, menurut beliau Negeri Indonesia ini termasuk negeri yang paling aneh di dunia ini. Di samping ummat muslimnya terbilang terbesar di dunia, juga pluralis di tengah kehidupan yang beragam mulai dari sabang hingga merauke.

Mbah Moen adalah sosok panutan yang perlu diteladani oleh para generasi masa depan bangsa ini. Meski di usianya yang sudah sepuh, beliau tetap antusias keliling ke sejumlah daerah di negeri ini, dengan getol terus menanamkan nilai-nilai keislaman dan keindonesian yang tercermin dalam Ideologi Pancasila Sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Semoga perjuangan beliau mendapatkan balasan yang setimpal, sehingga ditempatkan di tempat yang layak di sisi Allah SWT, serta wafat dalam keadaan khusnul khotimah, Amin.

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di bluto, 7 agustus 2019.

Monday, August 5, 2019

Luar Biasa, Siswa Ini Bersekolah Sambil Jualan Pentol Goreng




               Asmad Siswa Inspiratif

Sore itu, Saya iseng buka-buka facebook. Setelah seharian muter-muter mengitari Kota Sumenep. Sambil merebahkan tubuh untuk melepaskan lelah di Sekret KJS, Saya mengambil handphone lalu membuka facebook. Karena kalau di facebook itu setiap saat selalu ada saja info terbaru. Mulai yang lucu-lacu hingga kadang yang membangkitkan kemarahan karena tidak suka dengan postingan yang terkadang tidak masuk akal.
Namun, kali ini berbeda. Saat saya membuka facebook di beranda lalu muncul sebuah video yang diposting oleh akun "Kuliner Mantap". Dalam video itu, ternyata seorang siswa sambil menggendong tas dan bertopi seragam sekolah bersepeda yang ada rombongnya. Setelah diperhatikan siswa ini berjualan pentol goreng.

Kemudian ada seorang tentara menghampiri anak ini, kemudian bertanya namanya, alamat, sekolah hingga ke persoalan menjual pentol goreng itu. Anak ini terlihat polos. Dia mengaku bernama Asmad siswa kelas dua SMK 4 Tanggul. Entah itu di daerah mana karena dalam video itu tidak begitu rinci. Sambil ditanya dia melayani pembeli yang rata-rata masih anak-anak.

Dari percakapannya, anak ini mengaku setiap pergi ke sekolah sambil jualan pentol goreng,"Awalnya malu, tatapi karena guru saya sering bilang,'kalau anak pramuka tidak boleh malu' sehingga saya mngamalkan apa kata guru," ucapnya seraya tersenyum tulus dan polos.

Di saat lagi asik ngobrol dengan seorang tentara itu, tiba-tiba datang seorang kakek-kakek mengatakan, bahwa Asmad ini pernah bercerita kepada dirinya, bahwa dia merupakan tulang punggung keluarganya, dia hanya tinggal dengan ibunya. Sedangkan Bapaknya sudah berpisah kawin lagi, seraya memberikan penjelasan kepada tentara yang bertanya banyak hal karena penasaran kepada Asmad itu.

Asmad terlihat tertunduk malu sambil tersenyum mendengarkan pernyataan sang kakek tersebut. Kemudian sang tentara ini melanjutkan pertanyaannya, berapa perolehan perharinya Asmad menjual pentol. Asmad pun menjawab dengan polos, dengan modal Rp 75 ribu, dia memperoleh omset Rp 100 ribu hingga Rp 120 ribu perharinya, berjualan dari pagi hingga pukul 21.00 wib. Setelah berjualan dia tidak langsung pulang tetapi masih belanja untuk bahan ke esokan harinya dan seterusnya.

Kondisi semacam itu terus dia jalani tanpa merasa malu, meski terkadang diledekan oleh teman-temannya. Sementara Ibu nya beraktifitas menjadi pekerja pertanian.
Nah, yang berkesan di akhir pertanyaan sang tentara ini, saat menanyakan cita-cita Asmad kelak setelah lulus sekolah mau menjadi apa? sontak dengan jujur Asmad menjawab bahwa dari kecil memang bercita-cita ingin menjadi tentara. Mendengar pengakuan jujurnya itu, sang tentara merasa bangga dan sangat mendukung penuh. Asalkan harus diberengi dengan usaha keras dan dibarengi dengan doa. Lalu di akhir videonya itu sang tentara ini memborong pentolnya dan memberi uang sebanyak Rp 200 ribu rupiah. Terlihat ekspresi Asmad kaget seolah tidak percaya, sambil menciumi tangan sang tentara baik itu, seraya mengucapkan banyak terima kasih.

Melihat dari kisah Asmad ini, penulis tidak terasa menetekan air mata melihat kegigihan dan semangatnya berjualan sambil bersekolah. Di samping dia dituntut untuk berjuang melawan kebodohan dia juga harus dituntut untuk mandiri demi memenuhi kebutuhan hidup bersama sang Ibu tercintanya.

Semoga kisah sosok Asmad ini, menjadi inspirasi bagi siswa lainnya di negeri, menjadi anak yang membahagiakan dan membanggakan. Utamanya bagi orang tua. Semoga cita-cita Asmad inngin menjadi tentara akan terkabul. AMIN..

Teruslah berjuang menjadi generasi masa depan bangsa yang berkualitas..semoga.

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di Bluto, 5 agustus 2019.

Friday, August 2, 2019

Ketika Harga "Daun Emas" Belum Merdeka!

     Petani merajang daun tembakau

Saat ini daun tembakau atau yang dikenal "Daun emas" sebagian mulai masuk panen dan dirajang. Petani mulai dihantui rasa ketar-ketir, sebab mereka khawatir harga tembakau tidak sesuai harapan. Mengingat biaya operasional selama kurang lebih tiga bulan lamanya sangat mahal. Mulai dari mengolah lahan, pembibitan, pupuk, pengairan dan ongkos pekerja hingga biaya panen.

Bahkan di Desa Saya, saat ini mulai ada sebagian yang sudah memanen dan merajangnya. Tembakau yang dirajang itu, masih daun bawahnya, biasanya ada dua atau tiga lembar daun yang dipetik, diambil duluan. Daripada menjadi 'krusuk' oleh petani dirajang duluan. Saat ini untuk harga daun bawah dipatok sekitar Rp 40 ribu hingga Rp 45 ribu rupiah.

Meski, gudang belum membuka pembelian, tetapi di tingkat petani para bandul sudah berspekulasi membeli tembakau. Hal itu sudah biasa terjadi setiapa musim panen tembakau.

Perlu diketahui, untuk di daerah saya, yang rata-rata tembakau jenisnya tegal gunung, karena daerahnya berada di dataran tinggi. Cara panennya hingga tiga kali tahapan. Tahapan pertama merajang daun bawah, tahapan selanjutnya merajang daun tengah, dan pemungkasnya merajang daun atas. Dan selama tiga kali tahapan itu, membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Sedangkan harganya juga berbeda, daun bawah paling murah, daun tengah lebih mahal lagi dan yang paling primadona, yaitu daun atas. Dan biasanya kalau daun atas menjadi sampel oleh pihak gudang maupun pabrikan.

Nah, dari sekian proses panjang daun emas itu, petani sangat berharap harga tembakau tahun ini tidak mengecewakan. Mengingat petani sejauh ini belum "merdeka" untuk menghargai tembakaunya sendiri. Karena masih tergantung pihak gudang maupun pabrikan.

Tetapi, menurut petani kalau harga tembakau tahun ini tidak tembus di harga Rp 100 ribu perkilo, maka petani masih menelan kerugian, karena kelau di bawah harga tidak sebanding dengan biaya selama tiga bulan lamanya.

Bayangkan, untuk biaya air sebagai pengairanya, masih harus membeli. Per tangki sekitar Rp 125 ribu rupiah. Biasanya petani sampai 4 hingga 5 kali membeli air ke pemilik jasa mobil tangki tersebut.

Lalu, kepada siapakah kira-kira petani akan berkeluh kesah mengenai harga tembakau. Berhubung pemerintah sejauh ini belum begitu "Memihak" kepada petani tembakau. Terbukti belum ada regulasi yang spesifik terkait pertanian tembakau.

Semoga seiring berjalannya waktu, petani tembakau pada akhirnya, akan menemukan solusi sendiri tanpa harus tergantung pada siapapun. Sesuai namanya "Daun emas" akan selalu menjadi tanaman primadona, yang akan selalu dicari sehingga pada akhirnya petani akan merdeka bisa menghargai sendiri. Sehingga terbalik, nantinya justru pihak gudang dan pabrikan yang akan mengemis-ngemis untuk membeli tembakau milik petani. Semoga!.

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di bluto Sumenep.

Thursday, August 1, 2019

Kasihan, Melihat Nasib Pasar Ternak Ini

Pasar Ternak Terpadu Pakandangan Sangra Bluto

SUMENEP:Pasar ternak ini lokasinya tidak jauh dari rumah saya. Sekitar 800 meter ke selatan, tepatnya di Desa Pakandangan Sangra, Kecamatan Bluto. Setiap saat saya seringkali melintas di jalur ini.

Pasar ternak ini terbilang sangat luas, dan lokasinya strategis karena pas berada di pinggir jalan di jalur provinsi Sumenep-Surabaya. Entah, kenapa pasar ini belakangan " Kurang diminati" oleh pedagang ternak.

Menurut salah seorang warga setempat, pasar ini kurang diminati karena lokasinya sangat jauh dari Kota Sumenep. Utamanya bagi pedagang yang dari wilayah pantura. Yang sebelumnya berjualan di Pasar Bangkal, terpaksa harus mengeluarkan biaya lebih untuk bisa sampai ke pasar ini.
"Selain sepi, juga tidak ada pasar pendukungnya, sehingga susah pedagang ternak untuk berjualan di sini," paparnya.

Berdasarkan pantauan di lapangan, pedagang ternak malah tetap memilih berjualan di Pasar sekitar Kota Sumenep. Bahkan beberapa hari yang lalu, saya sempat liputan harga kambing naik jelang Idul Adha di lokasi itu. Padahal pasar ini di bangun pada 2016 lalu oleh pemerintah yang khusus untuk pasar ternak, sebab tertulis di papan nama 'Pasar Ternak Terpadu Desa Pakandangan Sangra Bluto' namun, hingga saat ini dibiarkan "Mangkrak" tidak difungsikan, (Baca:suarabaya.tribunnews.com, 6 maret 2019).

Entah, sampai kapan nasib pasar ternak ini dibiarkan "Mubazir" sebab Sampai detik ini, keberadaan Pasar Hewan Terpadu di Desa Pakandangan Sangra, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep tekesan tidak difungsikan, padahal pembangunan pasar ini menelan dana kurang lebih Rp 2,3 miliar, (kumparan.com, 24 april 2019).

Belajar Memaknai Kemerdekaan dari Seorang Penjual Bendera

Fauzan, penjual bendera asal Kota Garut

SUMENEP:Siang itu, di bawah teriknya sinar Matahari, saya menyusuri jalanan trotoar di sekitar Kota Sumenep. Di sepanjang perjalanan, tepatnya di Jalan Trunojoyo, Saya melihat aneka ragam bendera merah putih berlambai-lambai, seraya menyapa sambil diterpa angin sejuk di tengah panasnya sinar Matahari.

Perlahan-lahan saya berjalan sambil memandangi aneka bentuk bendera yang dipajang di pinggir jalan oleh para pedagang. Sepintas terketuk dalam hati, bahwa saat ini sudah masuk bulan Agustus, yaitu, momentum Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 74.

Dengan berkibarnya sang merah putih, terbayang betapa besarnya perjuangan para pahlawan yang telah gigih melawan penjajah. Bahkan sampai ada yang gugur di medan pertempuran demi kemerdekaan rakyat Indonesia. Bayangkan selama tiga abad lamanya, mereka berjuang mempertaruhkan nyawa. Sungguh sangat berdosa bila para generasinya tidak bisa melestarikan kemerdekaan ini.

Setelah lama saya terbawa renungan membayangkan gigihnya pejuang kemerdekaan tempo dulu, yang hanya saya saksikan di film-film tentang peperangan kemerdekaan. Kalau tidak salah saya pernah nonton aktornya Roy Martin. Pada waktu itu di TVRI yang masih belum berwarna seperti sekarang.

Kemudian saya menghampiri salah satu pedagang, Fauzan (50) warga Kota Garut, yang tengah antusias memajang bendera untuk menarik perhatian pembeli.

Saya berusaha mewawancarai, dan ternyata dia sangat familiar, dan bersedia untuk diliput. Dia pun menjelaskan, bahwa jauh-jauh datang dari kota Garut ke Sumenep, untuk mendapatkan berkah dari momentum kemerdekaan, atau lumrah dikenal Agustusan. Dengan menjual aneka macam bendera. Bahkan kata dia bukan kali ini saja menjual bendera di Sumenep, tetapi sudah rutin setiap tahunnya. Dia bersama teman dan sanak familinya sekitar 30 orang yang berjualan di sekitar kota Sumenep.
Jadi, walaupun jauh dari Kota Garut, tetapi, karena dukungan semangat 45 seperti berkibarnya bendera merah putih yang ia jual. Dia bersyukur setiap harinya mampu memperoleh omset Rp 500 ribu lebih perharinya. " Alhamdulillah mas, banyak yang membeli berkat bulan agustusan katanya," seraya tersenyum bahagia.

Sedangkan harganya bervariasi, mulai dari Rp 5rb rupiah hingga Rp 200 ribu rupiah per potong bendera sesuai besar-kecilnya,"Insaallah saya berjualan disini hingga tanggal 16 agustus ini," ucapnya.

Jadi, belajar dari Fauzan ini, intinya melakukan sesuatu apapun harus didorong rasa semangat juang yang tinggi seperti yang dicontohkan para pejuang 45. Sebab kalau tidak semangat dan tidak yakin pada dirinya sendiri maka harapan untuk berhasil dan sukses kemungkinannya sangat kecil.

Semestinya, momentum Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 74 ini, sejumlah beragam peristiwa, sejarah dan cerita yang dapat dipetik sebagai bahan renungan dan motivasi kedepan untuk menjadi generasi yang lebih maju dan tangguh.

Karena diakui bersama, para pemimpin bangsa ini, mulai dari Presiden pertama yaitu, Presiden Dr. Ir. H. Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Megawati Soekarnoputri, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi Dodo. Sudah pasti memiliki semangat yang tinggi dan percaya pada dirinya sendiri. Karena masing-masing mereka merupakan putra dan putri terbaik bangsa ini.Terlepas masa siapa yang paling baik, tetapi, yang pasti terdapat kelebihan dan kelemahan dari masing-masing kepemimpinan mereka. Namun, saya tetap meyakini para Presiden RI itu, merupakan generasi pejuang, di mana jiwa dan raganya sepenuhnya untuk negeri tercinta ini.
Justru, yang perlu dipertanyakan para generasi saat ini. Sudah sejauh mana kontribusinya dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan seperti yang diharapakan oleh para pendiri bangsa ini. Seharusnya generasi saat ini, lebih semangat lagi melestarikan kemerdekaan dengan torehan prestasi yang membanggakan yang akan terus membawa nama harum negeri ini di mata international.

Bukan sebaliknya, menodai negeri ini dengan perbuatan yang tidak beretika. Seperti, terlibat narkoba, melakukan tindakan kriminal, korupsi dan praktek asusila, seperti yang terjadi baru-baru ini di wilayah hukum paling ujung timur Pulau Madura ini. Sungguh, memprihatinkan melihat prilaku generasi masa depan tidak dapat meneladani para pejuang kemerdekaan yang sudah bersusah payah, bahkan berdarah-darah demi mejudkan kemerdekaan dari tangan penjajah. Alangkah berdosanya kita selaku generasi yang sangat diharapkan memajukan negeri ini malah menodai dengan prilaku yang menjijikkan. Tsumma naudubillah..Salam Merdeka!

Penulis, adalah pecinta kopi hitam tinggal di Bluto Sumenep.

Monday, July 29, 2019

Perlu Mempertajam Branding, Menuju Sumenep Kota Wisata



                   Pantai Salopeng Sumenep

Untuk mewujudkan kesuksesan Visit Sumenep 2019, maka tidak bisa dilepaskan dari branding yang dibangun dengan narasi yang meyakinkan publik secara massif dan berkesimbungan. Bahkan kalau perlu semua visi pembangunan itu muaranya ke branding wisata itu sendiri. Seperti yang dicontohkan daerah lain yang sukses dari sektor pariwisatanya, semisal Kota Batu, dan Pulau Dewata Bali. Dimana bangunan narasinya atau branding dua kota wisata itu sangat kuat. Sehingga ketika orang menyebut Kota Batu dan Bali, maka yang tampak adalah wisatanya.

Hal semacam itu, bukan sebuah kemustahilan bagi Kabupaten Sumenep, yang kaya destinasi wisata, budaya, kesenian, kerajinan dan peninggalan kerajaan sebagai cirikhas ikon Sumenep. Sungguh sangat luar biasa bila betul-betul dikelola oleh orang-orang profesional dan visioner. Mampu mendesain visit sebagai pintu masuk menjadikan kota Sumenep, sebagai Kota rujukan wisata di Madura pada khususnya.

Menyimak Perkembangan Destinasi Unggulan di Sumenep

Namun ketika melihat perkembangan destinasi unggulan di Sumenep. Terkadang sangat pesimis. Seperti melihat perkembangan wisata Pantai Salopeng dan Lombang. Entah, sudah beberapa kali kegiatan event di dua destinasi wisata Pantai Salopeng dan Pantai Lombang ini digelar. Selain kegiatan yang masuk event baik visit 2018 maupun event 2019. Tetapi, sepengetahuan saya, sejak kecil sudah seringkali datang ke dua lokasi ini. Kalau tidak salah setiap momentum lebaran ketupat rutin digelar sejumlah hiburan, mengundang sejumlah pihak termasuk para artis untuk menyedot pengunjung agar datang ke tempat ini, untuk menikmati keindahan pantai dengan balutan pasir putih dan pohon cemaranya yang rindang.

Bahkan saya dengan temen-temen lainnya, utamanya yang jurnalis televisi, seringkali liputan dua tempat wisata ini. Bahkan bisa dibilang sudah menjadi langganan liputan di setiap momentum liburan, baik liburan sekolah, lebaran, dan hari-hari penting nasional. Dari liputan itu seringkaki tayang di siaran berita nasional.

Belum lagi yang sudah diaplud di media sosial, bisa dibilang puluhan bahkan ratusan akun youtube yang telah mengaplud dua destinasi wisata di bawah pengelolaan Dispubparpora ini.

Perkembangan terbaru, dua wisata bahari ini, sama-sama digelar festival batik on the sea. Yang tentunya dari kegiatan itu diharapkan mampu mendongkrak pendapatan asli daerah PAD dari dua destinasi wisata ini. Mungkin pemerintah Kabupaten Sumenep, sudah melakukan sejumlah upaya, Seiring mulai banyak bermunculan wisata baru, yaitu wisata buatan, milik swasta yang mampu menyedot pengunjung. Sehingga dua wisata milik Pemkab ini mulai "Tersaingi".

Melihat kondisi dua tempat wisata, yang sejauh ini belum ada "Perkembangan yang signifikan", muncul beragam pertanyaan. Salah satunya datang dari seorang pengunjung Astuti, saat menikmati suasana pantai salopeng dan menyaksikan fashion show batik on the sea, beberapa hari yang lalu, bahwa pantai Salopeng sebenarnya sangat berpotensi bisa dikembangkan dan juga bisa terkenal mengalahkan wisata bahari daerah lain di Jawa Timur, dengan sarat penunjangnya harus dilengkapi. Misalkan, wahana permainan dan fasilitasnya dibenahi, kemudian dilengkapi dengan tempat penginapan di sekitar lokasi wisata. Sehingga pengunjung yang datang lebih kerasan berlama-lama di tempat ini. "Mestinya di tempat wisata itu, juga ada aksesoris produk lokal cirikhas sumenep yang dipasarkan sebagai oleh-oleh pengunjung, termasuk kuliner yang merupakan asli lokal sumenep," katanya.

Padahal untuk dua wisata ini sudah dianggarkan pememilaharan di APBD 2019 masing-masing Pantai Lombang sekitar Rp 2,2 miliar dan Pantai Salopeng Rp 1 miliar lebih, (radarmadura.jawapos.com., 7/1/2019).

Bahkan seringkali wakil rakyat berteriak agar pengelolaan dua destinasi wisata ini lebih maksimal, sehingga mampu mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bukan sebaliknya, hanya menjadi beban APBD yang dinilai tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap daerah itu sendiri.

Lantas, kemana dampak dari 36 event visit 2018, kemudian ditambah lagi dengan 40 event visit 2019 yang dicanangkan pemerintah dengan anggaran yang tentunya begitu fantastis. Saya terkadang larut dalam kebingungan sendiri, dan bertanya-tanya sendiri, lalu seperti apa sih konsep yang diinginkan pemkab Sumenep, untuk memajukan dalam sektor wisatanya?.

Padahal kalau berkaca pada Kota Batu Malang, yang hanya memiliki tiga kecamatan, tetapi berhasil membrending Kota Batu menjadi kota wisata yang tidak sepi dari pengunjung setiap harinya. Bahkan setiap akhir tahun Kota Batu selalu menjadi pilihan para wisatawan dari berbagai daerah. Wallahu'alam Bissowe.

Penulis, Pecinta Kopi Hitam, Tinggal di Bluto, 30 juli 2019.

Sunday, July 28, 2019

Menengok Kelemahan Pemimpin Generasi Milenial



(Sebuah Analisis Pakar Kepemimpinan, Andrew Senduk)

Istilah "Milenial" belakangan mulai tren diperbincangkan. Apalagi semakin mendekati momentum "Pilkada" mulai marak bermunculan calon-calon pemimpin generasi milenial yang akan diorbitkan. Hal ini dampak pengaruh Pilpres kemarin, istilah milenial sangat populer, mencuat ke permukaan. Bahkan viral di media sosial. kaum "Emmak-emmak' mengelukan sosok Sandiaga Uno menjadi calon pemimpin milenial masa depan yang dinilai mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Walaupun pada akhirnya harus menelan pil pahit, karena keinginan itu harus pupus, tidak sejalan dengan kenyataannya.

Tetapi, bagi sejumlah pakar kepemimpinan memiliki pandangan berbeda tentang potensi kepemimpinan para milenial, salah satunya, Andrew Senduk, Pakar Kepemimpinan serta start-up. Asal Belanda yang pindah ke Indonesia sejak 2013 lalu, ia telah aktif di dunia start-up lokal. Dalam 5 tahun perjalanannya, akhirnya ia memutuskan menulis buku untuk membahas isu seputar milenial.

Ketika ditanya mengenai apa isu yang dihadapi milenial sebagai pemimpin, Andrew menyebut ada dua permasalahan utama, salah satu tantangan dari generasi ini adalah jangka perhatian yang pendek short attention span, (Liputan6.com,  Selasa16/10/2018).

Jangka perhatian pendek yang dimaksud Andrew adalah para milenial lebih menyukai hasil yang instan. Misalkan tidak ada hasil yang jelas dalam 24 jam, maka mereka mulai mengeluh, atau cemas, atau tidak sabaran.

Selanjutnya, Andrew menyinggung kehidupan di era media sosial. Menurut dia, para pemuda terancam kehilangan jati dirinya karena terdistraksi bermacam hal di dunia maya. Bahkan bisa melihat hidup orang lain secara online, lalu dibanding-bandingkan sama teman-teman yang sudah lebih jauh dalam karier atau profesi.

Melihat generasi milenial yang penuh potensi, tetapi tetap butuh panduan, ia pun akan menerbitkan buku berjudul Ignite Millennial Leadership yang terbit di tiga negara, Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Namun, dia juga percaya bahwa generasi milenial adalah pemimpin masa depan negara ini. Tetapi butuh bimbingan, atau keterlibatan orang lain yang lebih bijak dan dewasa dalam hal pemikiran.

Ia menyebutkan, bahwa populasi milenial di Indonesia sejauh ini masih dipandang sebagai konsumen, baik itu oleh dunia korporasi atau potensi pemilih bagi para politikus. Mereka pun melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian milenial. Padahal, milenial harusnya tidak sebatas dilihat sebagai konsumen. Harus ada rencana jangka panjang bagi milenial yang merupakan calon pemimpin di masa yang akan datang.

Jadi, bagi hemat penulis, bahwa Pemimpin Milenial bukan sebuah jaminan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Atau malah sebaliknya menjadi penghambat lajunya roda pemerintahan itu sendiri.

Sebab menjadi seorang pemimpin itu tidak segampang membalikkan telapak tangan, harus komplek, termasuk kematangan dalam berfikir dalam menahkodai sebuah pemerintahan yang penuh warna-warni.

Wallahu'alam Bissoweb..

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di Bluto, 28/7/2019.

Friday, July 26, 2019

Ada Apalagi dengan Pansel OPD Sumenep?


Sejumlah mahasiswa saat berdemo di Kantor Pemkab Sumenep, terkait lelang jabatan 9 OPD, beberapa waktu lalu.

SUMENEP: Siang ini, Jumat (26/07/19) penulis sepulang dari solat jumat, merebahkan diri di ruangan tamu Kantor KJS, di Perumnas Regensi 04 Kolor, Sumenep.

Sambil membuka Hp dan menghidupkan data seluler, tiba-tiba 'dangdingdung' suara pesan yang masuk di sejumlah group yang ada di ponsel saya.

Karena penasaran saya buka satu persatu isi pesan yang masuk di group itu. Dan ternyata isinya rata-rata link berita yang di shere oleh teman-teman. Kemudian saya melihat dari link itu, beritanya sama-sama terkait Pansel OPD di lingkungan pemkab Sumenep.

Saya semakin penasaran, dan menuntaskan membaca berita-berita itu. Usai membaca saya bertanya-tanya sendiri, ada apalagi dengan proses lelang jabatan sembilan OPD di Sumenep ini. Sebab sebelumnya belung hilang dari ingatan saya, sejumlah mahasiswa pernah mendatangi Kantor Pemkab Sumenep, berunjuk rasa, karena mencium aroma "main mata" dalam proses lelang jabatan tersebut.

Nah, saat ini muncul lagi persoalan lain, bahwa di tubuh Pansel diduga ada yang menjadi pengurus Parpol, (Baca:Koranmadura,26/07/2019) Entah, seperti apa kebenarannya?

Kalau misalkan benar adanya yang bersangkutan menjadi salah satu pengurus Parpol, maka wajar bila mendapatkan protes sejumlah pihak, karena telah dinilai melanggar ketentuan yang berlaku,(Penamadura,26/07/19)

Lantas Penulis bertanya-tanya dalam hatinya, masak iya pihak-pihak yang terlibat dalam perekrutan Pansel OPD di lingkungan Pemkab Sumenep, tidak tahu aturan itu. Atau memang sudah tahu, tapi pura-pura tidak tahu, karena mungkin beranggapan tidak akan ada yang mempersoalkan di kemudian hari.

Lalu, bila faktanya sudah tersiar ke publik, bagaimana status legalitasnya selaku Panitia Penting dalam proses lelang 9 OPD di Lingkungan Pemkab Sumenep. Apakah yang dimaksud harus dibatalkan dari keanggotaannya, sehingga harus merekrut lagi. Atau dibiarkan saja mengalir tanpa memperdulikan protes publik. Lantas siapakah sih yang akan bertanggung jawab dalam persoalan ini. Maaf tulisan ini belum selesai, terpaksa saya hentikan sampai disini. Biarkan publik yang mencari jawabannya sendiri. Wallahu'alam Bissoweb.

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di Bluto.

Thursday, July 25, 2019

Demokrasi, atau Sekedar Pertarungan Bandar Politik


(Celoteh Si Bohayy di Kantin Bu. Jono)


Siang itu, tanpa sengaja dipertemukan dengan Si Bohayy di Warung pojok Dewan, milik Bu Jono. Tegur sapa pun berlangsung, lalu duduk sebangku sambil diskusi kecil mengalir, tidak terasa sesekali canda tawa spontan terlontar.

Di tengah canda tawa Si Bohayy dengan cirikhas topi hitamnya, diiringi gerakan tubuhnya yang lentur. Perlahan-lahan menyentil persoalan perpolitikan yang dibungkus dengan pesta demokrasi yang berkembang belakangan ini. Penulis sontak tertarik mencoba mengorek dan memancing Si Bohayy untuk mengeluarkan pandangannya tentang perpolitikan di tanah air.

Dari sekian perbincangan terkait politik, penulis berusaha menggiring ke isu lokal, yaitu menuju Sumenep 2020. Spontan SI Bohayy semakin energik untuk mengemukakan pandangannya. Sehingga dari sekian pandangan SI Bohayy terkait Sumenep 2020, penulis sedikit banyak mendapatkan imformasi baru. Namun yang menarik dari perbincangan dia, bahwa "Demokrasi sejatinya pertarungan bandar politik," dimana dalam ranah ini, tiada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang sejati.

Semua bertaruh unjuk kekuatan dan unjuk peranan  dalam politik transaksional yang ujung pangkalnya untuk melanggengkan poros oligarki atau menciptakan oligarki baru. Ibaratnya, elitnya berteman, pionnya disuruh bermusuhan. Seperti  yang terjadi pembelahan dukungan antara kubu 01 dan 02 sehingga muncul istilah "cebong-kampret". Tetapi fakatanya saat ini para elitnya mulai berangkulan, dan mulai duduk bersama. Entah, apa isi dan maknanya dari peristiwa rangkulan itu, karena yang tahu hanyalah mereka.

Sementara "Publik" yang kadung bermusuhan akan menanggung resiko sosial-politik dalam relasi narasi keseharia. Sedangkan "Para bandar" akan berhitung untung-rugi, begitu pun para pemburu rente sudah siap dalam posisi gigi satu dan tancap gas untuk cepat melakukan manufer dengan kacamata kuda dengan menyalip atau mengubah dukungan agar tidak keteteran dalam perebutan kue-kue pembangunan di masa mendatang.

Menang-kalah akan berdampak kepada logistik yang ditariknya, jika kalah harus mengembalikan logistik yang digunakan dalam termin tertentu yang kadang bisa membuat kandidat bangkrut. Tapi jika menang pun akan tersandera, karena juga akan mengembalikan nilai yang serupa berupa imbal jasa dalam bentuk yang lebih halus berupa proyek-proyek pembangunan, atau saya menyebutnya “kue politik”.

Lantas siapa yang diuntungkan dalam pesta demokrasi itu? Tentu saja publik, tapi publik yang berwajah bandar dan oligarki dalam jubah kapitalisme.

Publik, dari mulai buruh, petani, seniman hingga akademisi digiring menuju ladang balot elektoral saat pemilu/pilkada. Namun tetap saja demokrasi kotak suara hanya janji manis oligarkis. Demokrasi politik liberal yang bersekutu dengan ekonomi kapitalis neoliberal telah menciptakan krisis partisipasi publik.

Pengadopsian ideologi neoliberal secara masif dalam politik elektoral yang dianut oleh para kandidat, hanyalah untuk mentransformasikan seluruh bangunan relasi-relasi sosial menjadi pasar bebas yang endingnya menjadikan warganya yang konsumtif. Wallahu'alam Bissoweb.

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di Bluto Sumenep, 25 juli 2019.

Wednesday, July 24, 2019

Tumpukan Garam Menggunung Berwarna Kecoklatan


Tumpukan Garam hasil produksi 2018 di gudgudang PT. Garam Persero Kalianget, Sumenep

SUMENEP:Sejak menjadi jurnalis pada Tahun 2009 lalu, baru kali ini saya melihat tumpukan garam menggunung berwarna kecoklatan di dalam Gudang milik PT. Garam Persero di Desa Karangayar Kecamatan Kalianget, Sumenep, Madura, Rabu 24 Juli 2019 kemarin.

Ternyata, garam yang sudah tidak putih ini merupakan hasil produksi Tahun 2018 lalu ngendon belum terjual di dalam gudang. Penulis panasaran berusaha mencari tahu, kenapa kok belum terjual, lalu sampai kapan garam itu tetap disimpan. Sementara proses produksi garam terus berjalan. Lahan pegaraman milik PT. Garam di dekat gudang melimpah. Lantas bagaimana dengan nasib garam rakyat yang tidak terserap, Mau dijual ke mana?.

Pertanyaan itu, penulis berusaha mencari jawabannya. Akhirnya setelah beberapa lama penulis bersama manteman jurnalis lainnya, yang tergabung dalam Komunitas Jurnalis Sumenep (KJS) berkeliling dari gudang satu ke gudang lainnya, ternyata menemukan tumpukan garam yang rata-rata hasil produksi garam yang tahun lalu. Di samping warnanya sudah tidak putih, garam itu mengeras dan padat serperti batu. Tertulis jumlahnya di tiap satu gudang itu 5 ribu ton lebih, ada sekitar 6 gudang yang berjejer di sebelah timur jalan yang menuju Desa pinggir papas. Belum lagi tumpukan garam yang ada di luar gudang ditutup dengan terpal, juga terlihat menggunung. Berdasarkan catatan PT. Garam jumlah stok garam hingga juli awal 2019 sebanyak 211.307 ton, rinciannya
Garam serapan 120.000 ton dan milik
PT Garam sendiri 91.307 ton.

Kepala Bagian Pembelian Garam PT. Garam Persero, Moh. Hatib mengungkapkan, sejauh ini pihaknya belum melakukan penyerapan garam rakyat di Sumenep karena belum memiliki tempat penyimpanan. Sementara gudang yang ada sudah penuh. "Untuk wilayah madura, kami baru melakukan penyerapan garam rakyat di Sampang, di Sumenep masih mempersiapkan tempatnya," katanya.

Disoal mengenai marak impor garam yang diprotes petani selama ini, pihak PT. Garam berdalih bahwa garam lokal selama ini hanya untuk konsumsi. Sementara untuk garam impor peruntukannya untuk industri. "Jadi garam lokal masih belum memenuhi syarat untuk industri" dalih Sekertaris PT Garam, Hario Junianto.

Selain itu, Sambung dia, pada saat melakukan penyerapan garam rakyat musim lalu, harga garam di kisaran Rp 1.200 hingga 1.300 per kilo. Sementara sekarang harga garam anjlok hingga di bawah Rp 700 ribu per ton.

Sementara untuk menjual garam di bawah harga pembelian atau menjual rugi, menurut dia pihaknya tidak bisa serta merta. Tapi harus menunggu ketetapan dari pemerintah. “Jadi itu bukan hanya kewenangan PT. Garam,” jelasnya.

Oleh karena itu, harapan petani garam di sumenep musim produksi tahun ini, bisa dibilang kecil, mengingat hingga saat ini PT.Garam Persero yang merupakan BUMN belum juga melakukan pembelian garam rakyat. Semoga pemerintah segera mencarikan solusi agar petani garam tidak merasa dikecewakan. Semoga!

Monday, July 22, 2019

Memotret Masa Lalu, Untuk Memahami Hari Ini dan Merangkai Hari Esok Lebih Baik


                      Ya Allah Ya Rob!

Semua orang punya latar belakang yang berbeda, masa lalu yang tidak sama serta segudang pengalaman hidup yang beragam. Ada yang punya masa lalu kelam, ada juga yang cemerlang. Semua itu Sunnatullah. Sebagai wujud kekuasaan yang Maha Kuasa menciptakan mahluknya yang tidak seragam. Sebab dengan seperti itu, maka kehidupan ini semakin indah. Seperti pelangi berwarna-warni di langit indah dipandang mata.

Meski, punya masa lalu yang kelam bukan berarti patah semangat. Melainkan harus bangkit memulai yang baru yang lebih terang. Jadikan masa lalu yang kelam sebagai bahan renungan untuk introspeksi dan evaluasi diri (Baca:Managemen Golbu).

Masa lalu dipotret untuk memahami hari ini yang tengah dijalani. Semua yang tampak di hadapan mata direkam oleh panca indra, kemudian dijadikan sebuah inspirasi untuk membuktikan diri melakukan yang terbaik, minimal untuk kehidupan dirinya sendiri. Sebab apa yang sudah diputuskan dalam kehidupan realita hari ini, masih belum tuntas. Sebab masih ada kehidupan baru lagi yaitu, hari esok yang belum tampak oleh kasat mata. Karena tidak seorang pun yang tahu apa yang akan terjadi hari esok. Yang ada hanyalah perencanaan yang belum pasti. Makanya manusia perlu sadar diri bahwa dalam hidup ini penuh misteri tidak ada yang abadi (lagu Noah).

Manusia berkewajiban berusaha, dengan kekuatan yang dimiliki baik tenaga dan pikiran yang telah diberikan oleh Allah. Untuk dilestarikan dan dimaksimalkan, selebihnya sepenuhnya hak proitas Allah dengan segala takdirnya. Manusia hanya mampu berdoa, yang diiringi kesabaran, keikhlasan serta tawakkal. Insaallah dengan seperti itu Allah akan memberikan takdir baik untuk hari esok dan seterusnya di masa-masa yang akan datang. Karena Allah adalah dzat yang Maha Mengabulkan doa dari mahluknya. Insaallah Allah akan memberikan jalan keluar. Semoga!

Wallahua'alam Bissoweb..

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di Bluto Sumenep, 23 juli 2019.

Kisah Pilu, Seorang Nenek Tinggal di Gubuk Reyot

                   Nenek Amur menempati Surau                                           terbuat dari bambu

Pamekasan:Sungguh memprihatinkan nasib Nenek Amur (72) warga Dusun Janglateh Barat, Desa Campor, Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan. Dia hidup sebatang kara tinggal di gubuk reyot yang hampir roboh.

Nenek Amur ini di samping sudah renta dia juga tengah menderita penyakit lumpuh. Setiap hari membutuhkan bantuan orang lain karena tidak bisa berdiri sendiri kakinya tidak bisa digerakkan.

Meski dia memiliki tiga anak, satu laki-laki, dua lainnya perempuan. Namun yang laki-laki sudah meninggal dan dua anak perempuannya sudah berkeluarga tidak tinggal serumah lagi.

Saat ini nenek Amur tinggal sebatang kara, terpaksa menempati langgar yang terbuat dari bambu di samping rumahnya yang hampir roboh. Dia terbaring lemah tidak bisa berbuat banyak, hanya bisa pasrah menunggu bantuan orang lain untuk bisa makan. " Kadang bila lapar berteriak, bila seperti itu tetangga sekitar sudah paham bahwa Ibu butuh bantuan," ucap anaknya Sumairah.

Semoga kondisi Nenek Amur yang memprihatinkan ini, menggugah pihak-pihak terkait untuk membantu meringankan beban hidupnya. Semoga kita yang masih sehat dan hidup serba berkecukupan terpanggil untuk selalu membantu yang lemah yang membutuhkan bantuan.

Misteri, Perbedaan Manusia Dulu dan Sekarang



                Buuk singkong kuliner tempo dulu


Puluhan tahun yang lalu. Entah, tahun berapa saya lupa. Tapi kalau tidak salah, Saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Pada waktu itu Kakek minta dinjak punggungnya "Jekenje" di surau tempat kakek beristirahat. Sambil lalu kakek bercerita di masa Kakeknya dia masih hidup.

Banyak hal yang diceritakan. Tetapi, dari cerita yang saya tangkap, bahwa pada masa kakeknya beliau, Kabupaten Sumenep masih dipimpin oleh seorang "Ratoe". Entah Ratoe siapa yang kakek maksud, karena saya tidak sempat bertanya. Saya hanya mendengarkan saja dari apa yang diceritakan beliau.

Cuma dari cerita itu yang saya ingat, bahwa kakeknya beliau pernah disuruh membajak sawahnya Ratoe Sumenep yang lokasinya di sekitar Kota Sumenep, entah di daerah mana. Karena kakek hanya bilang, bahwa kakeknya itu berangkat dari Desa Lebeng Barat, Kecamatan Pasongsong menuju Sumenep. Untuk membajak sawah milik Ratoe Sumenep.

Singkat cerita, Konon kakeknya beliau itu, berangkat dari Desa Lebeng Barat sejak dini hari menuju Sumenep, sambil memikul bajak sawah yang terbuat dari kayu dan membawa sepasang hewan sapi ternak. Entah, sesampainya di Sumenep higga pukul berapa, tetapi yang pasti siang hari.
Karena kata kakek, kalau di masa itu, bila dibutuhkan sang Ratoe, apalagi untuk membajak sawahnya rakyat langsung tunduk dan melaksanakannya. Karena mungkin pada waktu itu seorang Ratoe memang sosok yang begitu terhormat dan sangat disegani. Sehingga semua perintahnya wajib dipatuhi.

Setelah kakek bercerita, saya tidak begitu merasa heran atau penasaran. Hanya terasa cerita biasa seolah tidak begitu berkesan. Namun cerita itu baru terniang di pikiran setelah saya pulang ke Rumah Pasongsongan dengan jarak tempuh sekitar satu jam perjalanan, dengan mengendarai motor berkecepatan sekitar 70 hingga 80 kecepatan.Itu pun terasa lelahnya, padahal hanya duduk di atas motor yang dijalankan oleh mesin moderen.

Lalu saya berfikir membayangkan betapa hebatnya dan kuatnya orang dulu, berjalan kaki sejauh sekitar 50 Km dari Pasongsongan-Sumenep itupun sambil memikul bajak sawah dan membawa sepasang hewan sapi. Sungguh sangat di luar nalar. Apa kira-kira yang menjadi faktor orang dulu bisa sekuat itu. Padahal kalau dari segi makanan, mungkin pada waktu itu paling pavorit singkong rembus dipadu dengan sambal garam. Sangat jauh dengan manusia sekarang yang makanannya serba moderen tetapi malah penyakitan.

Mungkinkah di jaman moderen ini, masih ada orang yang kuat seperti orang dulu memikul bajak sawah sambil membawa sepasang hewan sapi berjalan kaki dari Pasongsongan ke Sumenep?, kayaknya mustahil. Toh walaupun ada dijamin masuk Muri.

Demikian sekumit cerita kakek yang sampai sekarang saya ingat. Semoga temen-teman yang lain punya cerita yang lebih menginspirasi..semoga bermanfaat..

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di Bluto Sumenep, senin 22 juli 2019.



Saturday, July 20, 2019

Bayangkan, Bertamu lalu Disuguhi Rengginang Raksasa!





Ada pemandang unik di di Upacara Adat Tradisi Nyadar, di Desa Kebundadap Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, Sabtu, 20 Juli 2019. Yakni terdapat rengginang raksasa unik sebesar nampan. Sehingga menyedot perhatian warga yang datang ke acara ritual sakral tersebut.
“Entah, gamana ya kalau mislakan saya bertamu sendirian, lalu disuguhi rengginang raksasa, gimana cara makannya,” ujar Abil seraya keheranan menatap rengginang raksasa yang tengah tengkurap di atas meja.
Salah seorang pembuat rengginang raksasa, Made, mengaku membuat raksasa ini membutuhkan waktu selama dua hari. Sedangkan bahan utamanya beras ketan dicampur gula pasir, lalu diaduk hingga menyatu. Setelah itu baru dibentuk menggunakan alat cetak,” kuliner ini khusus dijual disaat momentum perayaan upacara adat Tradisi Nyadar,”terangnya.
Meski rengginang dengan ukuran besar ini, harganya terjangkau hanya sebesar Rp 20 ribu rupiah per satu rengginang, sehingga menarik perhatian warga untuk membelinya.

Friday, July 19, 2019

Aku Benci Kata "Sengketa"




Entah, apakah semua orang punya pemikiran yang sama, merasa muak, benci, males dan jenuh bila mendengar kata-kata "Sengketa"?. Atau tidak merasa benci karena kadung terbiasa, bahkan over keseringan melihat langsung peristiwa "Sengketa".
Sulit bisa menebak seseorang suka, tidak-nya pada kata-kata "Sengketa". Karena bisa saja orang yang merasa benci kata-kata itu, karena belum pernah mengalami sendiri. Coba kalau misalkan kebetulan punya masalah yang menimpa dirinya atau keluarganya. Apakah masih tetap benci atau justru sebaliknya. Seperti menganalogikan kata "Sabar" mudah diucapkan tapi susah diaplikasikan.

Tetapi, sejauh pengamatan penulis, istilah "Sengketa" itu selalu bersinggungan dengan hal-hal yang negatif. Dan rata-rata persoalan sengketa itu dilatari perebutan materi. Atau kalau disederhanakan lagi sebuah hiruk-pikuk perebutan dunia. Makanya tidak salah dalam Agama Islam disebutkan bahwa "Harta itu hiasan dunia". Kerena menjadi hiasan, maka seringkali diperebutkan. Bahkan sesama saudaranya pun seringkali harus bermusuhan lantaran rebutan dunia.
Yang lebih menyakitkan lagi, bila Istilah "Sengketa" itu diperaktekkan di lembaga pendidikan dan tempat-tempat yang disakralkan. Sebab seringkali dijumpai sebuah Sekolah disegel gara-gara ahli waris pemilik lahan sekolah itu tidak diberikan peran. Sehingga mereka membabibuta, tidak perduli anak didik yang menjadi korban keserakahannya itu. Baru setelah diberi ganti rugi merasa tersenyum seolah tanpa merasa berdosa.

Bahkan baru-baru ini, peristiwa sengketa salah satu tempat wisata religi di Sumenep, sangat melukai banyak orang. Karena tempat itu sejauh ini masih disakralkan, terbukti setiap hari banyak orang yang berkunjung yang datang dari luar daerah.

Penulis berkeyakinan, para leluhur yang ada di tempat itu, termasuk orang-orang pilihan yang sampai sekarang terus dikenang dan didoakan setiap saat. Bahkan, meski sudah tiada, tetapi masih bisa memberikan manfaat pada yang masih hidup, termasuk bagi masyarakat sekitar mampu meningkat perekonomiannya dari banyaknya pengunjung yang datang setiap harinya.

Oleh hanya itu, dengan terus bergulirnya persoalan sengketa itu, maka yang akan dirugikan juga yaitu Kabupaten Sumenep itu sendiri. Karena tempat itu merupakan salah satu ikon Sumenep yang sangat dikenal oleh masyarakat luar. Semestinya tempat itu terus dikembangkan, bukan malah dibiarkan membias yang bisa menciderai peninggalan leluhur Kabupaten Sumenep yang sangat dihormati. Penulis berharap Pemerintah setempat harus tegas dalam menjaga dan memelihara aset-aset bersejarah di kabupaten paling ujung timur pulau Madura ini...Semoga!

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di bluto sumenep, 19 juli 2019.

Thursday, July 18, 2019

Usai Ditaburi Garam, Ketua Dewan: Siap Gendong Pengunjuk Rasa



                     Mahasiswa saat berunjuk rasa
          di Kantor DPRD Sumenep, 19 juli 2019

Puluhan mahasiswa yang tergabung Pemuda Petani Garam Rakyat, berunjuk rasa di Kantor DPRD Sumenep, Madura, Jawa Timur, Jumat 19 juli 2019.

Mereka memperotes pemerintah yang telah mengimpor garam, yang dinilai sebagai pemicu harga garam rakyat anjlok. Bahkan saking kesalnya, mahasiswa menabur garam di pintuk masuk Kantor Wakil Rakyat tersebut.
"Impor garam harus disetop, serap garam rakyat," teriak korlap aksi, Edi (19/07/2019).

Menurutnya, gara-gara impor garam, saat ini harga garam rakyat rendah senilai Rp 450 ribu perton, turun drastis dari tahun lalu yang mencapai Rp 1,6 juta perton, atau turun sebesar 75 persen.
"Dewan harus memperjuangkan nasib petani garam, dengan mendesak pemerintah tidak membatasi serapan garam rakyat tahun ini," pintanya.

Setelah lama berorasi, akhirnya Ketua DPRD Sumenep, Herman Dali Kusuma datang menemui mahasiswa dan berjanji akan menyampaikan aspirasinya melalui DPR pusat," Ayo bahkan kalau perlu saya siap menggendong pengunjuk rasa ini," ucapnya.
Setelah mendengar pernyataan Ketua DPRD Sumenep, pengunjuk rasa membubarkan diri dengan tertib. Tidak ada kericuhan dalam aksi ini, sebab mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian setempat.

Wednesday, July 17, 2019

Pembagian Kekuasaan, Dilema antara Profesionalitas dan Tekanan Internal




Tradisi pasca hajatan demokrasi, entah itu Pilpres, Pilgub dan pil-pil lainnya, sudah pasti yang mencuat ke permukaan terkait persoalan pembagian kekuasaan. Siapa saja yang akan ditempatkan di pos-pos strategis untuk membantu menjalankan roda kepemimpinannya.

Terlepas apakah orang yang ditempatkan itu nantinya sesuai tidaknya dengan kemampuan dan kapasitas yang dimiliki. Karena diakui, seorang pemimpin yang telah berhasil merebut kekuasaan bukan berangkat dari tangan kosong, apalagi menggunakan "Binsalabin" sesuatu yang mustahil. Sehingga wajar dan menjadi lumrah siapa yang mendukungnya akan besar kemungkinan menduduki jabatan empuk tersebut. Kalau dalam istilah Maduranya,"Tengka, bede pakon ye paste bede pakan".

Artinya, secara kasat mata, orang yang akan ditempatkan di posisi strategis itu sudah terbaca. Salah satunya dari unsur partai politik yang mengusungnya. Tradisi semacam itu bukan hal yang baru di negeri ini. Jadi, dengan begitu penempatan jabatan strategis itu, bukan murni semata-mata karena dorongan profesionalitas melainkan bisa dibilang kompensasi atau yang lebih ekstream lagi, karena faktor tekanan internal.

Cuma yang aneh, ketika memang dari awal tidak mendukung, atau bisa dibilang memang mustahil untuk mendukung, ibarat langit dan bumi. Tiba-tiba sok jadi pahlawan kesiangan meminta jatah dengan mengklaim akan memperbaiki keadaan ke arah yang lebih baik. Sikap semacam itu sangat tidak cocok dengan budaya lokal di negeri ini yang kental dengan istilah,"Etika dan moralitas dalam berpolitik".

Mestinya pihak yang jelas-jelas tidak mendukung bersikap lebih dewasa dan jantan. Dengan tetap konsisten berjuang di jalurnya. Yaitu menjadi penyeimbang, pengontrol, penginspirasi serta sebagai kritik yang konstruktif guna tercapainya kesuksesan pembangunan yang dicita-citakan bersama.

Catatan penulis, siapapun pemimpin yang terpilih, diharapkan mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, kelompok atau golongan tertentu. Dengan menempatkan orang-orang yang memang punya kemampuan dibidangnya. Tanpa harus mengenyampingkan pihak-pihak lain yang telah mendungnya. Karena pemimpin sejatinya menyangkut kepercayaan, harapan, keyakinan rakyat untuk membawa bangsa ini kearah yang lebih baik lagi. Wallahu'alam Bissoweb.

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal di Bluto Sumenep.

Tuesday, July 16, 2019

Bersyukur, Uang Negara Hampir Rp 700 Juta Terselamatkan

                     Penyerahan uang oleh pihak                             kejari ke pihak Disprindag Sumenep

SUMENEP: Mata terbelalak seketika, saat Melihat tumpukan uang pecahan seratusan dan lima puluhan, yang diletakkan di atas meja di Ruangan Aula Kejari Sumenep, Selasa 16 juli 2019.

Uang itu, ternyata barang bukti BB hasil korupsi pembangunan Pasar Pragaan tahun anggaran 2014 silam. Yang tengah dikembalikan ke Kasda melalui Disprindag setempat. Nilainya Rp 699.008.000.

Uang ini dikembalikan setelah dinyatakan Inkrah, dengan dua terpidana inisial B dan A selaku kontraktor dan konsultan dalam proyek tersebut. Keduanya telah divonis 1,6 tahun panjara."Dalam penanganan perkara, yang terpenting bukan seberapa lamanya dipenjara, tapi penyelamatan uang negera,"tutur Kajari Sumenep, Bambang Panca.

Adapun nilai kontraknya, kata Bambang, dari pembangunan Pasar Pragaan tersebut, sekitar Rp 2,6 miliar. "Pengembalian keuangan ini merupakan kewajiban kami sesuai dengan salinan putusan Hakim (Tipikor) Surabaya,"paparnya.

Sementara itu, Sekertaris Daerah (Sekda) Pemkab Sumenep, Edi Rasiadi yang memberikan sambutan dalam penyerahan uang hasil korupsi itu, mengaku bersyukur uang negara berhasil diselamatkan oleh pihak kejari."Semoga kedepan tidak terulang lagi,"harapnya.

Semoga uang yang dikembalikan ke Kasda itu, nantinya bisa digunakan ke pembangunan lainnya yang tentunya lebih bermanfaat. Jangan sampai uang hasil sitaan korupsi masuk lagi ke kubangan yang sama, atau kata orang madura"Pessena ekorupsi polela, soro nemmu, ye tak nemmo nik".

Monday, July 15, 2019

Mahasiswa Cium Aroma "Main Mata" Lelang Jabatan di Sumenep


 Mahasiswa saat berunjuk rasa di kantor Bupati Sumenep, Senin 15 juli 2019.

SUMENEP: Proses lelang jabatan Pimpinam Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemkab Sumenep, mulai tercium aroma tidak sedap. Terbukti Sejumlah mahasiswa yang tergabung Front Keluarga Mahasiswa Sumenep (FKMS), berunjuk rasa di Kantor Bupati Setempat, di Jl. Dokter Cipto, Kecamatan Kota, Senin (15/7/2019).

Mereka menyoroti proses penjaringan pengisian kekosongan 9 OPD di lingkungan Pemkab Sumenep, yang dicurigai adanya indikasi "Main Mata", sebab, sebelum Panitia Seleksi (Pansel) melakukan tes, sudah ada 9 nama yang digadang-gadang akan mengisi kekosongan jabatan itu, "Sebelum ditetapkan sudah muncul nama-nama yang akan mengisi kekosongan pimpinan OPD yang beredar di medsos, ini khan indikasi kongkalikong,"ungkap Korlap aksi Sutrisno, Senin (15/7/2019).

Mahasiswa berjanji akan terus mengawal pelaksanaan lelang jabatan pimpinan OPD ini. Sebab, pengisian pimpinan ini merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam pembangunan Sumenep ke depan.

"Jika pimpinan OPD secara kualitas kurang mampu, dipastikan tidak akan membawa Sumenep ini ke arah yang lebih baik"katanya.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Pemkab Sumenep, Edy Rasiyadi, saat menemui mahasiswa memastikan tidak akan ada permainan dalam seleksi terbuka ini. Semua proses seleksi telah prosedural.

“Kami pastikan semuanya sudah prosedural dan jika ada masukan terkait dengan proses seleksi silakan disampaikan ke kami,” terangnya.

Sembilan OPD yang belum ada pimpinan definitif itu di antaranya Dinas Perhubungan, Disperindag, Dispendukcapil, Dinkes, Dispertahortbun, Dinas Satpol PP, DPMPTDP, dan BPKAD.

Sunday, July 14, 2019

Siswa Kreatif, Sampah Plastik Disulap Jadi Meja dan Kursi Cantik




Pamekasan:Yang namanya sampah ya tetaplah sampah, namun berbeda bila sampah berada di tangan siswa-siswi di Pamekasan, Madura,  Jawa Timur. Sampah plastik malah disulap menjadi meja dan kursi cantik dan menarik serta memiliki nilai jual tinggi. Penasaran khan…..

Mungkin sebagian orang tidak menyangka, bahkan bisa saja kaget, saat melihat meja dan kursi yang cantik ini, yang biasa diduduki orang di ruang tamu, ternyata  berbahan dasar sampah plastik.

Seperti yang dihasilkan oleh siswa SMA 4 Pamekasan.  Mampu membuat meja dan kusi cantik dari sampah plastik. Bahkan Dari tangan kreatif merekalah sampah plastik ini

Membuat meja dna kursi dari Sampah plastik ini, bukan serta merta langsung jadi, melainkan butuh proses, telaten dan keahlian dalam mendesain berbentuk meja dan kursi memiliki nilai ekonomis tinggi.

Dalam prosesnya, Pertam; sampah sampah plastic ini dikumupulkan dari lingkungan masyarakat sekitar, kemudian dipilah-pilah. Setelah itu sampah plastk yang masih bagus diambil dan dibersihkan.

lalu kemudain membuat ekobrik dari botol berukuran kecil dan besar. kemudian kemasan plastik itu dimasukkan ke dalam botol dan dipadatkan dengan cara ditusuk hingga penuh.

Dalam membuat satu set meja dan kursi, membutuhkan 40 botol ekobrik ukuran besar dan 9 botol ekobrik ukuran kecil dengan cara direkatkan. Kemudian melapisi dengan kulit kursi atau pengemasan.

“Dalam satu unit  meja atau kursi mebutuhkan waktu sekitar 3 minggu. Bahkan saat ini kami baru menghasilkan sekitar lima unit yang sudah dipesan,” ungkap siswa SMA 4 Pameksan, Vito.

Menurutnya, untuk pemasaran selain dijual secara online, juga dijual ke dinas-dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pamekasan dan di luar Pamekasan,” Harganya dalam satu unit bervariasi dari harga Rp 1 juta Rp 2 juta 500 ribu rupiah tergantung model dan pesanan konsumen,”tandasnya

Saturday, July 13, 2019

Pertemuan Jokowi-Prabowo, Sebuah Keniscayaan Dalam Berpolitik


Momen bersejarah yang ditunggu-tunggu, oleh rakyat Indonesia, akhirnya terjawab dengan bertemunya dua tokoh penting Jokowi-Prabowo. Sehingga dengan pertemuan itu menandakan sudah tidak ada lagi sebutan pendukung 01 maupun 02. Yang ada hanyalah Persatuan Bangsa Indonesia.

Pertemuan dua kontestan yang sempat bertarung keras, mengajarkan sebuah keniscaaan berdewasa dalam berpolitik. Karena berpolitik yang dewasa itu sangat menentukan terhadap stabilitas dalam berbangsa dan bernegara.

Sikap dewasa yang dicontohkan kedua tokoh ini, perlu dicontoh oleh para perpendukungnya, dengan ikut serta merajut kembali persaudaraan yang sempat retak. Oleh karena itu, saatnya saling berangkulan kembali, untuk bersama-bersama membangun bangsa ini kedepan dengan rukun dan damai. Karena bangsa yang besar itu sudah pasti dibangun di atas kepentingan bersama untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang maju, adil dan makmur.

Diharapkan, kedepan sudah tidak ada lagi istilah "Kampret dan Cebong", karena semuanya bersaudara sesamaa anak bangsa. Mari kembali beraktivitas kembali seperti semula, tanpa harus merasa sakit hati atau kecewa. Melainkan memberikan yang terbaik dengan karya dan prestasi untuk negeri tercinta ini.

Dengan begitu, maka negeri ini akan semakin disegani oleh negara lain di dunia, karena tetap mampu berdiri kokoh, solid dan bersatu sebagai negara yang majemuk, meski telah menghadapi berbagai tantangan dari segala penjuru.

Hemat penulis, kontestasi politik 2019, sebuah perhelatan politik yang paling menegangkan, dengan segala variannya. Tetapi negeri ini sudah teruji dan mampu melaluinya dengan damai dan kondusif. Semoga potret perpolitikan 2019 ini, menjadi inspirasi pergulatan kontestasi politik selanjutnya. Sehingga bangsa ini semakin matang dan dewasa untuk bisa bersaing dengan negara lain di dunia ini. Semoga!..
Wallahua'lam bissoweb...

Penulis, pecinta kopi hitam, tinggal d bluto sumenep, 14 juli 2019.